Chapter 22

3.5K 447 65
                                    

Selesai mandi aku melihat sosok Arka. Dia duduk di kasurku. Jika Arka di kamarku duduk sambil main handphone, artinya ada masalah.

"Kenapa dek ?" Dia menoleh dan langsung nyengir. Paling bisa ini satu bocah sembunyikan masalah dalam hatinya. Bahkan ada berapa mantan dia saja aku tidak tau. "Masalah kantor ?" Arka langsung pindah duduk kearah ujung kasur. Nah aku sudah manggil dia dengan embel-embel adek, dia lagi ingin bercerita.

"Gak." Arka berdiri dan masukin handphonenya ke saku celana. "Makan dulu kak," habis itu melongos deh pergi. Ck badebah !!! Aku langsung sisiran rambut dan merapihkan baju yang tadi aku kenakan di kamar mandi. Ya sist, udah dewasa lah ya. Jadi kalau mandi, ganti bajunya ya di kamar mandi. Takutnya ada yang masuk kamar sembarangan, kayak tadi Arka.

Aku langsung duduk di kursi makan. Pak Teguh tersenyum, kubalas senyum lagi. Pak Teguh berkata jika makan jangan sambil ngobrol. Maka dari itu, ketika makan tidak ada satupun pembicaraan.

Makan dengan tenang. Tapi pikiran melayang beberapa hari, saat dimana Sindi ingin bicara denganku. Aku menyetujui dengan senang hati. Dalam pembicaraan Sindi seolah merasa menang. Aku yang di salahkan, aku tidak bisa jaga hati kata dia. Jaga hati ? Lah emang bayi mesti di jaga. Aku yang memberi mereka kesempatan untuk dekat dan akhirnya jatuh cinta.

Mak comblang kali aing !!!.

Tapi ada satu hal yang di sampaikan. Dia meminta maaf sudah jatuh cinta sama Bima, yang waktu itu masih status pacarku. Dan perkataan dia yang sampe sekarang masih teringat.

"Tolong Dell maafin gue, gue yang salah sudah jatuh cinta sama Mas Bima. Dan tolong jangan pisahkan kami. Aku --- maksudnya kami berdua saling mencintai. Apapun yang mama inginkan terserah mau kamu turuti atau nggak. Asal jangan pisahkan kami. Sekali lagi maafin kami."

Selesai berkata gitu, si Sindi pamit pergi. Kenapa pemikiran mereka terlalu dangkal ?. Maksudnya tuh --- iyah aing belom move on, tapi masa iyah mau rebut Bima. Ya meski dalam otak ada keinginan sih.

"Kak ?" Panggilan Arka menyadarkan bayangan Sindi, aku menoleh hihihi ternyata sudah selesai makannya. "Di panggil Ibu dari tadi." Aku langsung nyengir ke arah ibu. Ibu dan Ayah menatapku kebingungan.

"Kenapa Bu ?"

"Kamu nggak dengar ibu bicara apa ?" Aku menggeleng dengan tanpa dosa. "Silvi tanyain kamu,"

"Nanya ? Lah mau ngapain ? Kayaknya nggak punya hutang deh Bu." Ibu langsung mendengus jengkel. Aku malah cuek aja, kulihat Ayah menggeleng tersenyum. Rasanya dari tadi mau minum kok ada aja yang bikin pikiran terbagi. Kuteguk air putih dengan menikmati.

"Silvi udah punya anak. Nah, dia tadi nanya soal kamu, kata si Slivi kapan kamu menikah ?"

GUBRRRAAAAAGGG

Suara tawa dari arah Arka yang terbahak. Sedangkan aku malah menganga. Dari pertanyaan si Silvi dan penyampaian ibu, langsung bikin aku jatuh dari kursi makan.

Badebah !! Untung gelas kagak pecah.

"Allahuakbar !!" Teriak Ibu histeris, Ayah menutup mulutnya sedang menahan tawa. Si Kutu gajah sudah tak bisa lagi berhenti tertawa. "Kamu tuh kebiasaan banget. Di tanya kapan nikah doang langsung jatuh dari kursi. Gimana Ibu tanya kapan ngasih cucuk, langsung tabrakan kayaknya."

Omelan Ibu tidak aku dengarkan, sakit ini pantat aing. Aku di bantu Ibu duduk kembali.

"Ayah kalau mau ketawa jangan di tahan. Mules aja, ibu yang repot." Ya Allah dasar Ibu Nurhaliza. Masih sempat mentingin Ayah nahan tawa. Anaknya Bu sakit, si Arka terbahak tak berhenti. Lagian pertanyaan si Silvi kamprett banget.

MOVE ON DAN MAKAN ( KELAR )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang