Ranor berderap menuruni gunung Gaat. Sebatang suluh ia gunakan menyibak malam dari jalannya. Pemuda itu meliuk-liuk di antara barisan pepohonan dan melompati semak belukar yang menghadang. Tubuhnya telah bermandikan peluh dan jantungnya berdebar kencang tak karuan. Wajah tampan pemuda itu pucat seputih tulang. Sesekali mata coklatnya melirik ke kaki gunung, tempat sebuah desa tengah terbakar hebat.
Tidak lama, Ranor tiba di depan desa Nizar. Ranor mengedarkan pandangan, ia merinding dalam kengerian. Pagar api membentang mengelilingi desa itu. Mayat-mayat sehitam arang bergelimpangan di desa. Rumah-rumah didera api atau sudah jadi arang. Ladang di kanan Ranor telah menjelma kelam. Ranor syok dan perutnya bergejolak.
Ranor melepaskan obor yang membawanya kemari. Di depan Ranor terbentang pagar api yang mengeliat, menghalangi Ranor masuk ke desa. Paras pemuda itu berubah merah dalam serangan panas. Namun Ranor tak gentar sedikit pun. Ia mengepalkan tangan sebulat tekad di hati. Ranor melaung dan berderap ke arah pagar si jago merah.
Dalam satu lompatan besar, Ranor berhasil menerobos pagar api tanpa tergores sedikit pun. Ia menarik napas dalam-dalam dan kembali menyapu desa itu dengan mata membelalak. Butir-butir peluh bermunculan dari wajah Ranor. Napas Ranor semakin tercekik didera asap dan pusing mulai menghantam kepalanya.
Ranor lantas berlari secepat mungkin menuju rumahnya. "Risa!" seru Ranor keras-keras, menengok ke kanan dan kiri. Udara semakin tipis dan panasnya bagai disiram air mendidih. Sekujur tubuh Ranor memerah dan peluh keringat terus mengalir deras dari tubuhnya. "Risa!" teriak Ranor mengalahkan derak rumah di sampingnya yang roboh.
Ranor terus berderap, mengabaikan mayat-mayat sehitam arang di sepanjang jalan. Air mata mulai membasahi pipi Ranor. Setiap langkah Ranor terasa semakin berat. Hatinya kacau balau dan kepalanya bagai ditusuk ratusan paku.
Ranor akhirnya tiba di depan rumahnya. Ia termegap-megap mendapati rumahnya yang telah menjelma menjadi timbunan puing. Pemuda itu tidak ingin dan tak sanggup percaya dengan matanya. Ranor menanggalkan tarkas anak panah dan busur, sebelum berlari ke dalam rumah tak berdinding itu. "Risa! Bibi!" teriak Ranor menggelegar dengan mata berkaca-kaca.
Ranor menggali reruntuhan rumah itu. Ia abaikan serpihan kayu dan paku yang menggores lengannya. Ia abaikan panasnya puing-puing yang ia angkat. Ranor berpindah-pindah dari satu sudut ke sudut lain, sebisa mungkin menyapu seluruh reruntuhan dari rumah itu. Jantung Ranor berdenyut semakin kencang, air matanya tak berhenti jatuh. Lengan Ranor bersimbah darah, kulitnya terbakar di sana-sini, dan hitam oleh arang.
Tiba-tiba, Ranor terperangah. Ia menemukan sesosok mayat terbaring dalam timbunan. Ranor terisak-isak seakan ada pisau tajam mengiris hatinya. Dengan gemetar, Ranor menyingkirkan puing-puing yang mengubur mayat itu. Setiap gerakan terasa semakin berat, rasanya ia ingin secepatnya lari dari kenyataan ini. Kepala Ranor bagai dihantam godam dan ia jatuh berlutut.
"Bibi," isak Ranor mengenali cincin kawin pada jari manis mayat itu. Lengan Ranor gemetar ketika ia menyentuh sisa dari wajah bibinya. Wajah yang hitam terpanggang dan penuh derita dalam kepergiannya. Wajah yang masih terbayang jelas dalam benak Ranor. Ranor melepaskan rompi kulitnya dan menyelimuti bibi dengan rompi itu.
Sejenak Ranor memandangi nasibnya. Apa yang terjadi? Kenapa? Siapa yang melakukan ini? Pertanyaan-pertanyaan itu berentetan menghujani pikiran Ranor.
Risa masih belum Ranor temukan, karena itu Ranor terpaksa kembali mencari. Beberapa saat berlalu dengan cepat dan seluruh sudut rumah telah ia periksa. Timbunan puing-puing telah Ranor singkirkan ke halaman. Namun Risa tak ia temukan. Perasaan Ranor sedikit lega dan ia hanya bisa berharap Risa selamat dari bencana ini.
Ranor kembali ke samping sang bibi. Ia duduk pada lantai hitam rumah yang sedikit retak. Kayu berderak-derak mendukung berat tubuh Ranor. Tubuh Ranor telah hitam oleh arang. Lengan dan kaki Ranor penuh dengan lecet dan luka bakar. Mata Ranor merah akibat asap dan kepala Ranor terasa sangat berat. Pemuda itu diam tanpa tahu apa yang harus ia perbuat.
Tiba-tiba, pandangan Ranor tertarik ke atas. Mata Ranor terpaku pada sosok samar di tengah kepulan asap. Angin menyapu asap yang menyelimuti sosok itu. Dan seketika itu, energi Ranor meluap-luap. Pemuda itu melompat berdiri dan matanya membelalang.
"AZMOT!" sergah Ranor penuh kebencian, ia menatap Azmot dengan penuh racun. Azmot, monster yang telah merenggut nyawa kedua orang tua dan kakaknya. Monster yang telah dikabarkan kematiannya tujuh tahun lalu. Sekarang monster itu muncul kembali di hadapan Ranor.
Azmot melirik Ranor dengan bola mata emasnya dan tersenyum. Ranor memungut busur dan sebatang anak panah. Tangan Ranor tidak berhenti gemetar dan ia berusaha membidik Azmot. Azmot tertawa geli melihat tingkah Ranor dan monster itu membumbung tinggi.
Tangan Ranor gemetar hebat dan kesulitan membidik Azmot. "Berhenti!" seru Ranor, menembakkan anak panahnya. Namun serangan Ranor melenceng jauh dari Azmot. Sementara Amzot melayang semakin tinggi. "Jangan pergi!" geram Ranor, berlari mengejar Azmot. Ia mengumpat tak karuan dengan nada-nada menyakitkan. Namun Azmot tak menghiraukannya, monster itu membumbung begitu tinggi dan akhirnya menghilang ditelan malam.
"KEMBALI KAU! AZMOT!!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Aleasah Heroes - Book 1 -
Fantasía(Telah terbit) Lima tokoh, lima petualangan, dalam satu kisah. Ranor, pemuda yang memburu Azmot untuk membalaskan kematian keluarganya. Yohana, penyihir yang bertualang menjaga kedamaian di Aleasah. Sa Mair, pemimpin kaum raksasa yang menjelajah un...