Chap. 22 Tagir

47 5 0
                                    

Pedati pak tua melaju pelan menyusuri jalan kecil di samping perbukitan Montar. Sudah hampir dua minggu Tagir menumpang gerobak ini. Jika mereka berada di kota, Tagir akan bersembunyi di dalam pedati. Namun setiap mereka berada di luar kota, Tagir dapat duduk di samping pak tua itu. Sore itu cuaca begitu cerah dan angin berembus sepoi-sepoi.

"Tagir, sebentar lagi kita akan tiba di Oslum," ucap si pak tua. "Aku penasaran, seperti apa istrimu?" lanjut pak tua. Sejenak Tagir tersenyum lalu mendongak. "Parla adalah wanita tercantik yang pernah kutemui." balas Tagir.

Pangeran kurcaci termenung, mengingat setiap cerita menarik saat bersama Parla. "Pernah satu kali, aku menyelinap keluar untuk minum bersama teman-teman.... Tapi. Entah bagaimana, tiba-tiba Parla memergokiku." tutur Tagir lalu tertawa terpingkal-pingkal. "Dia marah besar dan menjewer telingaku. Aku diseretnya keluar. Dia menarik telingaku sepanjang jalan sampai ke istana," lanjut Tagir seraya mengelus telinga kirinya seakan baru kemarin hal itu terjadi.

Pak tua tertawa sampai terengah-engah. "Kau tahu, ternyata kehidupan kalian tidak jauh berbeda dengan manusia." ucap pak tua. "Bahkan pria paling perkasa sekalipun akan jadi lemah di hadapan wanitanya."

Tagir mengangguk setuju. Tiba-tiba, pandangan Tagir berubah tajam. Sebatang anak panah melejit ke arah Tagir. Kurcaci itu melompat turun dari kereta membiarkan anak panah itu bersarang pada dinding gerobak.

Pak tua yang tertegun, menarik tali kekang kudanya, sehingga kereta itu berhenti. Pak tua menengok ke Tagir, cemas jika sang kurcaci terluka. "Sssst!" Tagir meminta pak tua untuk tetap tenang. Pak tua menurut dan mengedarkan pandangan. Dengan gesit, Tagir mengendap-endap ke balik semak belukar dan berbaring pada tanah rendah.

Tagir mengintai bagai serigala dari balik semak. Dua penunggang kuda berderap menghampiri pedati pak tua dari depan. Sementara dua orang berjalan kaki mendekat dari belakang. Keempat bandit itu berpakaian lusuh dan kotor. Masing-masing dari bandit itu membawa pedang yang tersampir pada pinggang mereka.

"Hei pak tua! Di mana anakmu?" sembur bandit pertama yang membawa busur. Bandit pertama berhenti di samping kereta dan meludah. Sementara ketiga bandit lain mengedarkan pandangan ke kanan dan kiri. Mereka mencari-cari Tagir.

"Di-dia kabur. Tolong... Jangan sakiti dia," jawab pak tua terbata-bata. Pak tua turun dari keretanya dan melepas topi jelek yang ia kenakan. Wajahnya pucat dan ketakutan. Kedua lengan kurus pak tua gemetar dan keringat dingin melapisi wajah keriput pak tua.

Bandit kedua, yang berjaga di belakang, melompat ke dalam gerobak itu. Ia memeriksa isi dari tong-tong anggur pak tua. Wajah bandit itu berubah masam begitu mendapati tong-tong itu telah kering. Bandit kedua mengumpat dan menendang tong-tong kosong itu.

"Kami tidak punya apa-apa. Semua sudah habis dijual," ujar pak tua begitu menyadari kegaduhan dari balik pedatinya. Bandit kedua melompat turun dari gerobak pak tua.

Bandit pertama mengacungkan bilah pedang ke leher pak tua. "Ampun...," isak pak tua. Tubuh pak tua gemetar. Keringat mengalir deras membasahi punggung pak tua dan napasnya putus-putus.

"Uang! Mana Uangmu!" bentak bandit pertama dengan suara yang menakutkan.

Dengan berat hati, pak tua meraih tas uang yang dari balik pakaiannya. "Kami hanya punya sedikit," tutur pak tua selagi menyodorkan tas itu, setengah terpaksa.

Bandit pertama merampas tasuang pak tua dan menimbang-nimbangnya. "Bagus!" Bandit pertama tersenyum ketikamendengar dencingan kepingan logam dari dalam tas itu.

The Aleasah Heroes - Book 1 -Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang