Oscar menengok ke luar jendela keretanya. Pandangan Oscar tertuju pada Dinding Langit, dinding yang tinggi menjulang membatasi wilayah Girandir dan Esteria. "Dinding Langit memang tidak mungkin dihancurkan," ucap Oscar kepada Helda.
"Betul sekali pangeranku. Sebuah maha karya oleh Lumicas sang penyihir langit, penyihir terbaik yang pernah ada," tambah Helda yang juga menengok ke Dinding Langit.
Mereka berhenti di depan gerbang Dinding Langit, gerbang logam berat dengan tebal mencapai lima meter. "Buka gerbang!" seru penjaga yang melongok dari atas dinding itu begitu mengenali kereta kerajaan Girandir.
Gemuruh yang disertai getaran tanah mengiringi gerakan gerbang yang terbelah dua. Rombongan Oscar masuk perlahan melewati gerbang itu.
Mereka tiba di dalam halaman kastil Ironclad. Kastil dengan bangunan-bangunan kayu tinggi dan lebar menempel pada Dinding Langit. Tidak lupa puluhan menara penjaga yang tersebar di seluruh wilayah kastil ini, menjaga kastil dari setiap sudut. Bangunan utama kastil dibangun dari batu dan berdiri di tengah wilayah itu. Sebuah jembatan batu menghubungkan puncak bangunan utama dengan Dinding Langit.
Rombongan Oscar berhenti di depan barisan penjaga Dinding Langit. Para penjaga mengenakan pelat logam dari ujung kaki sampai ke kepala. Pedang tersampir pada pinggang dan perisai baja terikat pada lengan kiri mereka. Melihat mereka yang menghalangi jalan, para pengawal Oscar tampak gusar.
"Biar aku," kata Oscar seraya membuka pintu kereta dan melompat turun. Helda turun dan mengikuti Oscar. Sepatu mereka kotor begitu menjejak pada tanah berlumpur. Namun hal itu sama sekali tidak dihiraukan Oscar. Sedangkan Helda mulai menggerutu begitu tepi gaunnya menyentuh lumpur.
Salah seorang penjaga datang mendekati Oscar. Pedang yang tersampir pada sabuk kulitnya berayun-ayun. Pakaiannya tebal dari kulit dan wol dengan anyaman lambang kerajaan Esteria pada dadanya. Ia berhenti di depan pangeran Oscar. Senyum lebar merekah dari wajahnya yang bercodet panjang melintang pada pipi kanannya. "Pangeran Oscar! Selamat datang!" sambut Lucas dengan suara parau dan membungkuk hormat.
"Ser Lucas," balas Oscar dan mengangguk singkat.
"Sepertinya Girandir sibuk sekali, dua saudara pangeran baru saja berlalu," ucap Lucas sebelum ia melirik ke arah Helda. Pandangan Lucas kembali ke Oscar. "Sudah lima tahun sejak pangeran Oscar kemari. Jika aku boleh tahu, apa yang membawa pangeran kemari?"
"Kami datang untuk menjalin hubungan baik di antara kedua kerajaan. Maafkan jika kami merepotkan, Ser Lucas," jawab Oscar.
"Tentu tidak, pangeran boleh datang kapan saja. Aku harus berterima kasih untuk bantuan Girandir selama ini. Bahkan utara dan selatan dapat bersatu saat bencana besar datang melanda."
"Itu sudah sebuah kewajiban kami," ucap Oscar merendah. "Azmot adalah musuh kita. Dan sekarang ia sudah tiada. Kita dapat membina hubungan baik di antara kedua kerajaan."
"Betul, betul sekali pangeran.... Oh, maafkan saya, sudah menyita waktu pangeran." Lucas memberi isyarat dan para prajuritnya membuka jalan bagi rombongan Oscar. "Sampai jumpa pangeran Oscar. Semoga perjalananmu menyenangkan!"
Oscar dan Helda kembali naik ke keretanya dan rombongan mereka melaju keluar melalui gerbang kayu kastil Ironclad. Mereka tiba pada daratan hijau asri tanpa salju sedikit pun, sebuah pemandangan yang membuat anak-anak utara merasa asing.
Satu jam telah berlalu dan matahari nyaris tenggelam. Ladang gandum di samping rombongan Oscar berubah kemerahan dalam sapuan cahaya senja. Langit di timur mulai menjelam keunguan dengan bercak-bercak bintang. Dan lalu-lalang kereta semakin menipis, hingga hanya kereta Oscar dan para prajurit yang berada di jalan itu. Sebuah kincir angin tampak di depan Oscar. Kincir itu berayun pelan ditarik angin senja.
"Awas!" bisik Markus, pria dengan pakaian serba hitam, seraya menjauh dari jendela kecil pada kincir angin. Markus mencongkong di samping temannya. "Dia melihat kita," bisik Markus.
Toraf ikut mencongkong. "Tidak mungkin bodoh! Di sini sangat gelap."
"Ada apa pangeran?" tanya Helda saat melihat senyum kecil merekah dari wajah pangeran. Oscar berpaling dari jendelanya. "Bukan apa-apa," ucapnya dan kembali tersenyum.
Beberapa jam kemudian....
Hari sudah larut dan Oscar memutuskan untuk menginap pada sebuah penginapan. Mereka berhenti di penginapan dekat dengan sungai Nim, sungai yang mengalir dari danau putih sebelah selatan Dinding Langit. Penginapan Mawar Merah itulah nama dari penginapan itu, penginapan yang menjadi tempat favorit orang-orang utara untuk singgah.
Empat pengawal Oscar masuk terlebih dahulu melalui pintu utama penginapan. Mereka berderap cepat mengelilingi lobi penginapan yang sepi dan berhenti pada jarak yang berjauhan. Setelah beberapa saat, Oscar dan Helda masuk. Keduanya cukup puas saat mendapati ruangan itu terasa hangat dengan perapian pada sisi kirinya yang dikelilingi sofa-sofa santai. Sementara pada sebelah kanan ruangan, puluhan lukisan yang sebagian besar bertemakan kejayaan Esteria tergantung rapih. Oscar harus menyamarkan kemuakkannya saat memandangi lukisan itu.
Warna merah mawar mendominasi seluruh ruangan termasuk pada setelan yang dikenakan para pegawai penginapan. Di seberang ruangan, meja mahoni besar membatasi pengurus penginapan dengan tamu-tamunya.
Dengan cepat, pengurus penginapan bersetelan rapih menghampiri pangeran. Ia membungkuk hormat. "Selamat datang di penginapan Mawar Merah, Pangeran Oscar! Sungguh sebuah kehormatan dapat menjamu anda," sambut pak tua itu.
"Terima kasih," balas Oscar mengangguk singkat.
"Biarkan kami mengantarkan pangeran Oscar dan rombongan pangeran Oscar ke kamar terbaik kami," tawar pria tua itu dan menjentikkan jari.
Dengan sigap, empat pelayan cantik datang menghampiri Oscar dan Helda. Mereka mengantarkan Oscar dan Helda ke kamar mereka masing-masing.
Sekitar tengah malam....
Markus dan Toraf merunduk di balik semak-semak. Mereka berdua bersembunyi dari pengawal Oscar yang berpatroli di luar penginapan Mawar Merah. Pandangan mereka berdua tidak pernah lepas dari kamar Oscar.
"Dia masih bangun," bisik Markus.
"Sedang apa dia?" tanya Toraf.
"Baca buku."
Tiba-tiba, terdengar retakan ranting dari belakang mereka. Dengan cepat, Markus dan Toraf berbalik badan. Di sana seorang pria tengah mengendap-endap ke arah mereka. Pisau kecil meluncur keluarkan dari balik lengan panjang Markus dan Toraf. Mereka mengambil ancang-ancang, siap menyerang pria itu.
Pria itu berhenti dan menggerakkan jarinya dalam sebuah pola. Markus dan Toraf terus memperhatikan gerakan pria itu dan menyelipkan kembali senjatanya, begitu pria itu berhenti. Pria itu menghampiri kedua temannya dengan hati-hati.
"Kenapa?" tanya Markus.
"Sebentar lagi mereka masuk," jawab Bardy. Markus dan Toraf mengangguk dan kembali berjaga.
Oscar masih terjaga, ia duduk di sofa sembari asik membaca buku. Lilin kecil pada meja menemani Oscar menghabiskan waktunya. Terdengar bunyi ketukan dari balik pintu kamar Oscar. Tanpa pikir panjang Oscar beranjak dari sofa dan membuka pintu.
"Maaf mengganggu istirahat pangeran," ucap Helda agak membungkuk.
"Ada apa?" tanya Oscar dengan raut serius.
"Jika pangeran tidak keberatan, boleh kita mengobrol sejenak?"
"Oh, tidak masalah. Masuklah!" Ia mempersilakan Helda masuk. "Silahkan," ucap Oscar setelah duduk kembali pada sofanya. Helda duduk pada sofa di depan Oscar.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Aleasah Heroes - Book 1 -
Fantasía(Telah terbit) Lima tokoh, lima petualangan, dalam satu kisah. Ranor, pemuda yang memburu Azmot untuk membalaskan kematian keluarganya. Yohana, penyihir yang bertualang menjaga kedamaian di Aleasah. Sa Mair, pemimpin kaum raksasa yang menjelajah un...