Chapter 01 : Mimpi Buruk - 2

3.8K 471 4
                                    

The Journey of Revenge

Chapter 01 : Mimpi Buruk bag. 2

Genre : Fantasy, tragedy, historical and general fiction (maybe?), etc

Karakter yang saya pinjam milik Masashi Kishimoto sementara alur cerita original dari pemikiran saya sendiri

Warning: AU!Kingdom, gender bender, OOC, OC, typo(s), etc

Playlist : Can't Learn ost. Princess Agents

.

Naruto berjalan menyusuri taman itu dalam diam. Untuk kedua kalinya Naruto kembali ke taman kekaisaran karena bibinya masih belum menyelesaikan urusannya kemarin.

Naruto mengenakan gaun berwarna putih bersih dengan sedikit polesan perona pipi membuatnya terlihat lebih segar. Rambutnya pun ditata sesederhana mungkin yang hanya dihiasi jepitan bermotif bunga Peoni membuat kesan sederhana namun tetap terlihat cantik dan menawan.

Naruto menghentikan langkahnya karena gaun bagian bawahnya sedikit berkibar tertiup angin. Mengamati sekelilingnya yang dipenuhi pohon maple sedang menggugurkan daunnya membuat Naruto tersenyum sedih.

Mengapa musim seindah ini harus mengingatkannya akan tragedi yang sangat melukai hatinya? Kenapa kedua orangtuanya harus terbunuh di penghujung musim ini?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mengapa musim seindah ini harus mengingatkannya akan tragedi yang sangat melukai hatinya? Kenapa kedua orangtuanya harus terbunuh di penghujung musim ini?

Dan yang paling Naruto tidak mengerti adalah; mengapa kedua kakak-kakaknya selalu berada di luar ibukota di saat penghujung musim gugur tiba? Tidakkah keduanya berpikir jika Naruto masih membutuhkan kehadiran mereka untuk menghadapi penghujung musim ini?

Apa Naruto harus berjuang sendirian melawan segala jenis memori menyakitkan akan tragedi berdarah itu untuk yang kedua kalinya?

Menghela napas panjang, Naruto menatapi riak air di danau yang tenang saat tiba di pinggiran jembatan beton sebagai jalur penyeberangan di atasnya. Kedua tangannya mencengkram erat pinggiran jembatan itu hingga membuat tangannya memerah.

Mengapa tidak mengambil nyawaku juga, Dewa? Naruto bertanya pilu di dalam hati, menyuarakannya dengan sendu.

Sungguh, bukan keinginan Naruto untuk tetap bernapas hingga detik ini. Karena setiap helaan napas yang ia ambil menyaratkan luka dan penderitaan yang sudah dua tahun ini ia pendam.

Untuk apa ia hidup jika pada akhirnya kebenaran itu terus tertutupi tanpa bisa terungkap kepermukaan? Bukankah itu berarti ia menyia-nyiakan setiap tetes darah dan jerit penderitaan kedua orangtua serta seluruh anggota klannya menuju sang kematian?

Maka dengan begitu biarkan aku mati saja, Dewa! bisiknya dalam hati penuh permohonan. Aku lebih memilih mati daripada menanggung rasa bersalah ini hingga kematian menjemputku dengan semestinya, lanjutnya lagi terdengar putus asa.

Dan kenangan itu pun menyeruak memenuhi isi kepalanya seperti kaset rusak. Ia ingat betul jika hanya dirinya yang tersisa dari pembantaian pada malam itu.

Ya, hanya dia seorang diri disana; berdiri kaku diantara puluhan mayat keluarganya yang bergelimpangan di jalanan. Menjadi satu-satunya orang yang bisa menarik napasnya dan tetap hidup di dunia. Sementara kedua kakaknya, entah berada dimana.

Naruto sangat mengenal kakak pertamanya, Kurana yang sering sekali keluar rumah hanya sekadar untuk berkelana karena pada dasarnya kakaknya itu tidak terlalu menyukai tembok istana atau pun menjadi pejabat pemerintahan dengan segala kepalsuan di dalamnya. Dan saat malam itu tiba, Kurama masih dalam perkelanaannya.

Lain lagi dengan kakak keduanya. Kyuubi memang ada di rumah pada hari itu, namun entah mengapa saat kejadian berlangsung keberadaannya seolah-olah hilang ditelan bumi.

Naruto tidak terlalu memusingkan kemana hilangnya Kyuubi karena hati kecilnya berkata jika kakak keduanya sudah berada ditempat yang aman; itu saja sudah cukup untuknya.

Naruto mengambil sesuatu dari balik lengan gaunnya. Menatapnya sesuatu itu dengan pandangan sulit diartikan.

Inikah yang diinginkannya? Mati dengan kehormatannya sebagai seorang gadis tanpa bisa membalaskan dendam keluarganya? Membiarkan setiap tetes darah, airmata, dan jerit kesakitan mereka semua tanpa adanya pembalasan yang setimpal?

Tangannya bergetar membuat sebilah pisau kecil yang kini berada dalam genggamnya ikut bergoyang. Naruto menggigit bibir bawahnya, ragu mulai menyelinap dihatinya; dia mulai goyah.

Bagaimana jika mereka menyalahkanku? Aku hidup tetapi tidak dapat membalaskan dendam mereka; beranikah aku menemui mereka di alam baka nantinya? Atau ... mereka akan berbalik membenciku?

Naruto memejamkan kedua matanya, dadanya kembali berdenyut sakit. Sungguh, pertemuannya dengan Sakura kemarin membuatnya kacau seperti ini.

Melihat Sakura yang hidup bahagia seolah tanpa beban membuat kebencian di dalam hatinya berlipat ganda.

Sakura merupakan anak dari pembantai klannya, dan melihatnya hidup damai seperti itu sementara ia hidup tersiksa di sini.

Ingin rasa Naruto menghancurkan kehidupan Sakura dan membuat kehidupan gadis berambut gulali itu sama buruknya dengan kehidupannya, tapi sayangnya hati kecilnya terus saja menyangkalnya.

Sakura tidak bersalah, yang bersalah adalah ayahnya. Mereka yang merencanakan rencana sekeji itulah yang bersalah; tak ada sangkut pautnya dengan anak-anaknya yang tidak tahu apa-apa.

Sakura hanya ditakdirkan menjadi anak dari pembantai klannya, Sakura tidak bisa memilih untuk dilahirkan dalam keluarga seperti itu; sama seperti dirinya yang ditakdirkan untuk kehilangan seluruh anggota keluarganya dalam usia muda.

Sakura sama tidak beruntungnya dengannya, mau tidak mau Naruto harus mengakui hal itu.

Naruto menghela napas panjang, menatapi nanar sebilah pisau kecil yang kini bergetar di dalam genggamannya.

Kenapa rasa itu datang disaat yang tidak tepat? Naruto bahkan membutuhkan banyak waktu untuk menetapkan hatinya akan pilihannya untuk melakukan harakiri, tapi mengapa pertanyaan demi pertanyaan itu mulai meragukan hatinya dan menggoyahkan ketetapannya?

Ya, Naruto berencana melakukan harakiri. Itu terbukti dengan pakaiannya yang berwarna putih dengan berhias sesederhana mungkin namun tetap cantik dan anggun meski terlihat rapuh juga kuat secara bersamaan.

Sebelumnya Naruto juga sudah melakukan ritual-ritual yang biasa orang lakukan jika ingin harakiri, itu berarti hanya tinggal satu tahap lagi; melaksanakan harakiri dengan sepenuh hati.

Namun jika ditanyai alasan, alasan utama yang melatarbelakangi dia nekad ingin melakukan harakiri adalah karena sudah terlalu banyak 'malu' yang ia tanggung.

Mulai dari malu karena tidak bisa membalaskan dendam keluarganya; malu karena membiarkan dalang dari pembantaian itu hidup aman dan nyaman seolah-olah mereka hidup tenang di atas genangan darah keluarganya; hingga malu karena tak bisa mengungkapkan kebenarannya; dan banyak sekali 'malu-malu' lainnya yang ikut andil dalam keputusannya ini.

Dan kini Naruto sudah tidak bisa menanggung rasa malu itu lagi.

Menetapkan keputusan hatinya sekali lagi lalu sedetik kemudian Naruto mengangkat sebilah pisau kecil itu ke atas dan membuat gerakan menghujam ke arah perutnya.

.

.

.

TBC

Sampai jumpa di chapter-chapter selanjutnya^^

Love,
Diandra Nashira
Minggu, 10 Desember 2017

The Journey of Revenge (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang