Enam Belas

645 41 2
                                    

Berbulan-bulan lamanya setelah kejadian itu, lengan Bilqis sempat patah dan sempat dirawat intensif. Kepalanya juga mengalami gegar otak ringan karena terdapat luka. Tapi sungguh berbeda dengan Heri yang berada pada ruang ICU selama berbulan-bulan tanpa sekalipun pernah membuka matanya. Ia terus berbaring dalam ruangan itu dengan berbagai peralatan rumah sakit yang melekat pada tubuhnya untuk penunjang hidup membuat dada Bilqis sesak bukan main. Dalam keadaannya yang kurang baik itu, ia terus berusaha untuk melakukan kewajibannya sebagai muslim dengan mendoakan keselamatan Heri.

“Bil.. Kak Bilqissss!”

“Kak, Bang Heri udah sadarrr!”

Teriak si kembar bersamaan saat mencapai ruangan kamar rumah sakit yang Bilqis tempati.

Bilqis yang baru saja menyelesaikan sholatnya segera melepaskan kerudungnya dengan terburu-buru dan bersama kedua adik kembarnya mereka dengan tergesa-gesa berjalan cepat menuju ruang ICU dimana Heri berada.

“Tuh, tuh. Ibu, Nenek ma Ayah Bang Heri baru aja keluar dari ruang ICU.” Ucap Nadif yang menunjuk keluarga kecil Heri yang keluar dari ruangan ICU.

“Iya, kak. Tapi kok semua pada keluar sih? Nangis juga. Apa saking bahagianya ya?” Tanya Nadin yang tersenyum tipis melihat ketiga keluarga dekat Heri yang berlinang air mata.

“Om, tante, nenek, gimana Heri? Bilqis dengar dia udah sadar?” tanya Bilqis yang segera melangkah lebih cepat mendekati mereka yang tengah berlinang air mata.

“Ia Bilqis, Heri sedang diperiksa dokter. Tante seneng banget bisa melihat dia sadar.” Ucap Ibu Heri yang memeluk Bilqis dengan erat.

Walaupun merasa sakit pada lengannya yang di gips setelah operasi. Bilqis hanya tersenyum dan ikut memeluk ibunda Heri dengan erat yang sengaja pulang dari Kalimantan hanya untuk menjaga Heri.

“Syukurlah. Alhamdulillah.” Ucap Bilqis mengucap syukur dan segera beralih melihat Heri yang telah duduk diperiksa di dalam ruang ICU dari balik kaca pintu.

“Masuklah, Bil. Dari tadi Heri mencari kamu.” Ucap Nenek yang membukakan pintu untuk Bilqis masuk.

Bilqis tersenyum simpul dan mengangguk pelan melihat pintu yang sedikit terbuka itu.

“Berkat operasinya berhasil, kamu sekarang sudah lebih baik. Tapi gegar otak itu bukan masalah yang ringan. Jadi kamu harus di rawat lebih lama lagi. Berhati-hatilah ya.” Pesan sang dokter yang ditemani beberapa dokter muda dan juga suster sebagai pendampingnya. Kemudian semua tampak memberikan senyumannya pada Bilqis yang berdiri pada sudut tempat tidur yang Heri tempati.

Berlahan secara teratur semua tampak keluar dari ruangan dengan tersenyum bahagia. Dan beralih pada Heri yang tengah berbaring di atas tempat tidurnya hanya tersenyum tipis sambil melambaikan tangannya yang masih lemah.

“Hai, Bil.” Ucap Heri tersenyum.

“Maaf, Riiii.” Ucap Bilqis yang tiba-tiba saja menangis segugukan pada ujung tempat tidur dengan perasaan bersalah.

“Seharusnya aku aja yang ketabrak. Seharusnya aku yang mimpin jalan” ucap Bilqis yang melangkah berlahan pada samping tempat tidur.

Heri tersenyum tipis melihat Bilqis yang menangis segugukan melihat kondisinya.

“Loh kok kamu sih yang mimpin jalan. Kan aku yang mau jadi imam. Jadi harus aku lah yang mimpin. Lagi pula kalo’ kamu yang kena tabrak, aku nggak bakal maafin diri ku sendiri karena nyakitin kamu.” Jelas Heri yang mengusap berlahan lengan Bilqis yang sibuk mengusap air matanya yang berjatuhan.

“Lah, kok kamu yang nggak maafin diri kamu. Tapi kan kamu yang ketabrak. Jadi aku boleh nyalahin diri aku sendiri dong.” Omel Bilqis yang menarik kursi untuk duduk di samping ranjang Heri.

Bride & Groom (Bilqis & Harry Tales Series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang