Lima Belas

720 34 2
                                    

Flashback On

Bilqis dan Ridho tengah duduk di salah satu meja kafe milik ayah Bilqis. Mata Bilqis sibuk menatap busa-busa pada cangkir kopi machiatonya.

Warna kulit Bilqis yang biasanya sangat gelap berlahan mulai kembali ke warnanya yang semula putih. Tapi kebiasaan makan Bilqis tetap saja tidak dapat dihentikan hingga tubuhnya masih saja gempal walaupun traumanya sudah berlahan menghilang.

“Nih, undangan yang kamu minta kalau aku nikah.” Ucap Ridho yang menyodorkan undangan itu pada Bilqis.

“Ni mah undangan buat si kembar. Buat akunya mana?” tanya Bilqis menunjuk undangan berwarna keemasan itu dengan jengah.

“Nih, buat kamu and Heri.” Ucap Ridho kembali menyodorkan selembar lagi undangan pada Bilqis.

Bilqis terkekeh pelan tapi bibirnya yang tipis itu lagi-lagi hendak mengucapkan sesuatu untuk membuat Ridho kesal kepadanya.

“Sebelum kamu ngomel.. aku udah kasih langsung undangan sama nenek and keluarga kamu secara langsung. And.. para pegawai kafe.” Jelas Ridho menyesap berlahan kopi hitamnya yang masih hangat.

“Kemana si Heri, apa dia nggak datang buat acara perpisahan kali ini?” tanya Ridho yang memperhatikan sekelilingnya dengan teliti.

“Paling sebentar lagi. Dia itu jamnya orang Takengon. Selalu ngaret.” Ucap Bilqis terkekeh memikirkan tingkah Heri yang selalu saja lupa waktu.

“Kamu deh yang paling tahu.” Ucap Ridho terkekeh mendengar ucapan Bilqis dan kembali menyesap kopi miliknya.

“O, iya Bil. Kalian kapan pacarannya?” tanya Ridho yang membuat Bilqis menghentikan kegiatannya memperhatikan busa-busa pada kopi machiato miliknya.

“Nggak usah pacaran. Langsung nikah aja.” Ucap Heri yang tiba-tiba muncul dan duduk di antara Bilqis dan Ridho.

“Eh,  lo Bro. Akhirnya muncul juga.” Ucap Ridho yang segera berdiri untuk menyambut Heri yang baru saja datang dan menyalaminya.

“Gimana kamu setuju nggak, Bil? Setelah kita berdua lulus kuliah, aku bakal bangun perusahaan travelling buat maharnya. Kan lumayan.” Ucap Heri yang tersenyum menatap Bilqis yang masih tertunduk kaku.

“Yeah, sure. Habis ini ada yang ngikut gua donk.” Ucap Ridho terkekeh melihat Heri yang masih sibuk menggoda Bilqis.

“Ngayal Lo.” Ucap Bilqis yang mengikuti gaya bicara Ridho dan menyesap habis kopi machiato miliknya.

“Aku pulang. Sakit perut.” Ucap Bilqis segera bangkit dari tempat duduknya dan berjalan pergi meninggalkan tempat itu.

“Bil, aku bercanda. Please jangan pergi. Tunggu bentar lagi. Kita kerja kelompok dulu. Baru deh setelah itu kamu pulang.” Ucap Heri menghentikan langkah Bilqis dengan mencengkram lengannya.

“Aku sakit perut Ri, aku harus pergi sekarang.” Ucap Bilqis menepis cengkraman Heri.

“Kan disini ada toilet. Buat apa pulang sih?” tanya Heri menunjuk arah toilet.

“Please, Tuan sok care. Aku harus pulang. Dan aku pengen pulang.” Tegas Bilqis melangkah menuruni tangga untuk segera keluar dari kafe itu.

“Aku anterin.” Teriak Heri yang meninggalkan Ridho seorang diri yang sedari memperhatikan mereka berdua dengan serius.

“Bro, lo ketinggalan undangan nikahan gue woi.” Teriak Rhido saat menyadari dua lembar undangan pernikahannya pada tergeletak rapi diatas meja.

***

Heri dan Bilqis berdiri pada persimpangan jalan bersama, keduanya tak lekang saling memperhatikan banyaknya kendaraan yang berlalu lintas dengan kecepatan tinggi. Lampu tanda menyebrang tak kunjung berwarna hijau hingga membuat Bilqis beberapa kali berdecak sebal.

“Bil.” Ucap Heri yang berdiri di samping Bilqis dan banyak lagi orang yang menunggu antrian untuk dapat menyebrang jalan.

“Hm?” gumam Bilqis yang melirik Heri yang berdiri berdampingan dengannya.

“Seandainya kematian akan datang sebentar lagi. Lo mau ngelakuin apa?” tanya Heri yang melirik Bilqis dengan sebuah senyuman pada wajahnya rupawan.

Bilqis mendongak untuk melihat mata itu tetapi ia segera menghindarinya dan tersenyum.

“Aku mau berdoa sama Tuhan. Supaya orang yang aku sayangi akan selalu bahagia. Kalau kamu Ri? Kamu mau apa?” tanya Bilqis yang tersenyum ketika melihat lampu tanda untuk menyebrang menyala hijau.

Heri tersenyum tipis melihat Bilqis yang tersenyum menyebrang jalan dengan santainya bersama yang lain.

“Aku juga bakal ngelakuin yang sama.” ucap Heri tersenyum tipis.

“Tuh, papan bunga untuk acara pernikahan Bang Ridho di ujung sana.” Tunjuk Bilqis ke arah beberapa papan bunga yang berjajar rapi pada trotoar jalan yang sedikit jauh dari mereka ketika selesai menyebrang.

“Banyak banget parkiran mobil sampek kita harus markir sejauh itu. Lain kali bilang sama yang punya acara buat RSVP tempat parkiran.” Ucap Bilqis terkekeh memperhatikan acara penikahan yang berlangsung meriah itu.

“Yuk kita kesana.” Ucap Bilqis menarik pergelangan tangan Heri untuk segera berjalan bersamanya menuju pesta itu.

“Yuk!” ucap Heri tersenyum dan memegang lengan Bilqis dengan erat.

Bilqis tersenyum dan mengikuti pria jangkung itu untuk kembali menyebrang jalan.

Tak ada rambu pada jalan itu, semua tampak sepi walaupun terdengar keriuhan pada seberang jalan. Begitu banyak mobil yang terparkir pada setiap badan jalan tapi tak menyurutkan sedikitpun rasa penasaran kami untuk segera masuk ke dalam tempat itu.

Heri lebih dulu melangkah kakinya melewati badan jalan sebagai pemimpin. Tapi baru saja selangkah Bilqis mengikuti dibelakangnya setelah melewati parkiran mobil, sebuah mobil berkecepatan tinggi datang dan melemparkan Heri sejauh belasan meter.

Bilqis sendiri yang memegang erat lengan Heri terseret sejauh beberapa meter dari tempatnya. Walau terlihat tidak terlihat ada luka serius pada tubuh Bilqis dan Heri. Bilqis masih sempat menatap tubuh Heri yang terbaring di tengah jalan yang sepi itu. Dari tubuhnya mengalir deras darah yang kental yang berbau karat dan amis.

Setetes air mata mengalir jatuh menuruni pipi Bilqis melihat Heri yang telah terbaring lemah di atas aspal yang berdebu. Ia ingin menutup matanya dan berharap semua itu hanyalah mimpi, tapi apalah yang mampu daya. Ia hanya dapat memandangi Heri pada sudut badan jalan memperhatikan supir mobil yang ketakutan melihat tubuh sekarat Heri yang jauh terlempar dari mobilnya yang telah rusak parah saat menabrak Heri.

“To-tolong di-dia.” Ucap Bilqis terbata-bata tak mampu melihat pemandangan tragis itu lebih lama lagi.

“To-tolong He-he-ri.” Ucap Bilqis yang merasakan tenggorokan begitu tercekat melihat pemandangan itu. Beberapa orang mulai berdatangan dan membantu Bilqis dan Heri untuk segera bergerak dari badan jalan. Sang supir mobil yang menabrak mereka berduapun hanya dapat terdiam mendapatkan hujatan demi hujatan yang diberikan oleh para pengunjung yang hadir untuk membantu.

Ibu dan Ayah Bilqis yang datang untuk melihat tabrakan itu melihat Bilqis yang telah diletakkan pada bahu jalan terlihat berteriak histeris. Gaun berwarna merah muda yang  dikenakan Bilqis kini telah terlihat bercak darah yang berserakan dan hijab yang telah susah payah ia kenakan sebelum berangkat kini telah berantakan dan terdapat bercak darah juga. Tak lama setelah melihat bayangannya sendiri pada pantulan cat mobil hitam yang berkilatan, Bilqis hanya dapat menangis dan berharap dapat melihat Heri kembali. Bilqis menangis sejadi-jadinya hingga penglihatannya dipenuhi oleh cahaya berwarna putih.

***

To be continue

Jangan lupa vote and comment

Wassalam Quesha Anya

Bride & Groom (Bilqis & Harry Tales Series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang