Sebelas

850 35 6
                                    

Aku duduk di atas bangku taman seorang diri sambil membaca novel. Sesekali aku melirik ke arah pepohonan rindang dimana beberapa burung tampak berkicau ria diatasnya.

“Maaf.” Ucap Heri yang tiba-tiba muncul dari balik pohon itu.

“Hm?” Gumamku yang terkejut melihat kedatangan Heri.

“Maaf soal kemarin.” Ucap Heri yang segera membalikkan wajahnya menghindari saling tatap denganku.

“Aku tak menyangka mengingatkanmu tentangku dapat membuatmu teringat akan..” Ia menghentikan kalimatnya dan tampak menggeleng berlahan.

“Maaf mengingatkan tentang masa kelam itu.” sambungnya dan menjulurkan tangannya kesamping, menunjukkan sebungkus permen loli rasa caramel kesukaanku.

“Maaf, tidak mengingatmu. Serangan panik itu biasa terjadi padaku. Dan terima kasih sudah menolongku waktu itu.” jelas ku yang menutup lembaran novel yang ku pegang dan memperhatikan punggung Heri yang sedikit tertutupi batang pohon yang ia punggungi.

“Dan terima kasih sudah menolongku kemarin.” Sambung ku tersenyum tipis yang jarang ku tampakkan sejak kejadian mengerikan itu.

“Boleh kita berteman? Ayahmu mengatakan kau tidak memiliki teman.” Ucap Heri dengan polosnya dan berbalik untuk menatapku.

“Tidak, aku tidak berteman dengan siapapun.” Jawabku segera, sambil berbalik menghindari untuk bertemu tatap.

“Ya. Kalau begitu.. tak apa. Sekedar kenalan saja.” Ucap Heri yang melangkah berlahan dan duduk pada bangku taman yang sedikit jauh dariku.

“Bagaimana kau masih mengenalku?” tanyaku sambil berkerut kening saat mengingat bagaimana Heri yang pertama mencoba untuk mengenaliku kemarin.
Apalagi diriku saat masih kecil dulu hingga menjadi saat ini sangatlah jauh berbeda. Dan tidak memungkinkan orang-orang yang sudah lama tak bertemu denganku dapat mengenaliku dengan baik. Dan ayah sudah bercerita bahwa Heri sudah cukup lama tinggal di  Makassar setelah ia lulus SD dan baru kemarin Heri kembali ke Takengon.

“Aku nggak mungkin melupakan suaramu yang selalu memenuhi kepalaku sejak aku kecil.” Ucap Heri yang tampak tersenyum sambil menggenggam erat permen loli yang ada pada genggamannya.

“Aku suka pad-“

“Bagaimana kau tahu aku ada bukit itu?” Tanyaku yang selalu penasaran akan hal itu tapi kekehan pelan tampak terdengar dari arah Heri yang duduk sedikit jauh dariku.

“Itu adalah tempat persembunyianku saat orangtua ku bertengkar. Aku terkejut saat melihatmu keluar dari semak belukar.” Ucapnya terkekeh pelan dan mendongak kearah langit.

“Jujur. Awalnya aku ingin mengusirmu pergi dari tempat itu. Tapi saat mendengarmu menangis. Aku tahu kau lebih terluka daripada aku saat itu. Jadi aku membiarkanmu untuk meminjam tempatku.” Ia tersenyum dan melirikku yang tengah menatapnya saat itu.
Tapi aku segera mengalihkan tatapanku kearah lain sambil berdeham mengisi kekosongan.

“Melihatmu cukup lama menggigil kedinginan didekat pohon itu. Aku segera berlari sekuat tenaga kembali kerumah. Aku mengambil celana dan jaket yang kira-kira muat untukmu. Dan..” Ia menghentikan ceritanya dan menyandarkan punggungnya pada kursi taman tanpa sedikitpun mengalihkan pandangannya dariku.

“Saat aku memperingatimu soal tubuhmu yang membeku. Kau cukup marah hingga menyebutku B------.” Ucapnya menghela nafas dan kembali memperhatikan permen loli yang ia genggam.

“Kalau kau bukan orang yang suka. Tentu aku akan pergi dari situ segera. Tapi.. ada rasa iba pada hatiku yang menginginkanmu untuk kembali pulang kerumah. Jadi, saat kau memintaku untuk menolongmu. Jelas aku segera mengerti. Dan aku mengantarmu pada jalan yang paling aman untuk kau lewati.” Ucap Heri menghela nafas menerawang jauh pada saat itu.

“Aku tak menyangka jalan itu yang membuatmu dengan cepat bertemu dengan Ayah mu. Dan saat mendengar ceritamu itu aku benar-benar sangat marah pada orang yang mencoba untuk menodaimu. Aku ingin membunuhnya saat itu juga. Kau tahu? Aku berlari sekencang mungkin pulang ke rumah dan sholat dengan rakaat sebanyak yang mampu aku lakukan. Aku berdoa meminta kepada Allah untuk mencabut nyawa pria brengsek itu.” ucap Heri yang terkekeh dengan keras mengingat kebodohannya saat itu.

“Doa itu terkabul, sebelum aku lulus dari Sekolah Dasar. Tapi, aku tak lagi dapat menemui mu. Sehingga suaramu saat meminta tolong padaku terus terngiang pada telingaku.” Heri tampak menghela nafas yang cukup panjang dan kembali mendongak untuk menatap birunya langit dari bayang-bayang pohon rindang yang menaungi kursi taman dimana kami berdua duduk.

“Aku begitu rindu hingga meninggalkan ibuku di Makassar.” Ucapnya terkekeh dan kembali menatap punggungku yang berlemak.

“Dan aku tidak rindu padamu.” Kataku yang menyangkal perasaan yang terselip dihatiku. Aku meringis merasa sakit pada jantungku tapi tak sedikitpun ku tunjukkan untuknya yang telah menungguku begitu lama hanya untuk meredakan rindunya. Rindu akan Bilqis yang selalu tersenyum, rindu akan Bilqis yang dulu.

FLASHBACK OFF

***

To be continue

Quesha sering banget update gk tepat waktu.

Gimana klu update seminggu sekali biar Quesha bisa istirahat sambil ngerjain novel yg lain?

Mau Senin? Selasa? Rabu? Kamis? Jum'at? Sabtu atau Minggu?



Klu Quesha maunya sih pas Senin aja.. gimana? Mau?


Wassalam Quesha Anya

Bride & Groom (Bilqis & Harry Tales Series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang