Flashback On
:Bilqis POV:
Sayup-sayup angin berhembus lembut menenangkan tubuhku di bawah rindangnya pohon camar. Tapi pikiranku tetap tak mampu berkutik bagaimana mungkin seorang pria yang seharusnya melindungiku kini berpaling untuk menjerumuskanku. Tubuhku bergetar hebat saat mengingat bagaimana ia mencoba untuk menyentuhku. Terlalu pahit saat itu hingga aku hanya dapat menitiskan air mata.
“Aku sudah melihatmu sedari tadi. Apa kau tidak kedinginan?” tanya seseorang yang terdengar di balik punggungku.
Aku terlalu takut untuk mengetahui siapa orang yang tengah mencoba mengajakku berbicara. Aku terlalu takut bahwa setiap orang mencoba untuk menyentuhku. Aku merengkuh diriku semakin dalam dan membiarkan diriku semakin merapat pada kulit pohon camar itu.
“Pergi! Pergi!” ucapku pelan.
“Kau-“
“PERGI KAU B----------!!!” teriakku pada orang yang berada di balik punggung ku.
Tak perduli akan maunya dariku, tapi aku benci pada orang yang mencoba untuk menarik perhatianku. Aku mengepalkan tanganku dan mencoba semakin erat memeluk tubuhku. Aku takut dan semakin takut saat cahaya senja berlahan mulai menguasai langit. Aku ingin hilang dari muka bumi ini. Aku ingin menghilang menjadi debu yang bertebaran pada udara tanpa merasa.
“Bilqis, kau menggigil.” Ucapnya setengah berteriak dan melangkah kehadapanku.
Aku memperhatikan bayangan buram anak lelaki yang tengah berdiri dihadapanku. Aku tak tahu persis siapa anak lelaki itu. Tapi suaranya terdengar familiar ditelingaku, dan aku terlalu takut untuk kembali pada jurang penderitaan itu.
“To-tolong aku. Aku ta-takut.” Ucapku tergagap dan menundukkan kepalaku dalam duka yang teramat sambil meneteskan air mata.
“Kau bisa berdiri? Aku bisa mengantarkanmu ke rumah.” Tawar anak lelaki itu mengulurkan tangannya padaku.
Aku menggeleng pelan tapi tetap menutup wajahku yang menangis ketakutan. Aku baru saja menyadari tubuhku yang menggigil sejak anak lelaki itu memberitahukannya padaku. Dan sekujur tubuhku seketika merasakan nyilu seolah hancur berkeping-keping.
“Bilqis, kau baik-baik saja?” tanya anak lelaki itu menatap sayu tubuhku yang masih menggigil.
“Ba-bagaimana k-kau ta-hu na-“
“Aku membawakan jaket dan celana untuk mu. Aku kira kau membutuhkannya.” Ucap anak lelaki itu menyodorkan dua helai pakain tebal yang terbuat dari jeans itu untukku.
Aku mencoba mendongak berlahan sambil menahan rasa sakit yang mendera tubuhku. Tapi aku meraih bayangan pakaian yang samar dihadapanku. Dan dengan terlunta-lunta aku mencoba untuk memakainya pada tubuhku berlahan.
Anak lelaki itu sempat terkaget-kaget saat melihat sekujur tubuhku yang penuh dengan luka gores dan lebam yang cukup banyak. Ia segera membalikkan tubuhnya dan mengernyitkan dahi seolah ikut prihatin atas kondisiku. Pakaian yang ia bawakan cukup hangat membungkus tubuhku walau sedikit kebesaran. Aku mencoba untuk meraih punggungnya yang membelakangiku dan menepuknya pelan. Ia segera berbalik dan menggenggam tanganku erat. Tapi aku segera menepis lengannya dengan kejam sambil berkerut kening tidak suka perlakuannya.
Aku seperti mengenalnya saat melihatnya dari jarak yang dekat. Tapi penglihatanku masih terlalu rabun untuk melihatnya dengan jelas.
“Aku mau pulang. Tolong antarkan aku.” Ucapku sambil memenundukkan wajahku karena merasa bersalah telah menepis lengannya.
Tapi ia tampak tersenyum tipis pada bayangan buram itu. Ia menyadari ketakutanku terhadapnya sehingga ia meraih sebuah ranting yang tak terlalu panjang dan memberikannya padaku.
“Peganglah ujungnya. Dan aku yang akan memegang ujung yang satunya. Aku menuntunmu kembali pulang.” Ucapnya pelan sambil menatapku.
Aku mengangguk pelan menjawab tawarannya. Aku meraih ujung ranting yang ia sodorkan padaku. Dan berlahan ia melangkakan kakinya menjauhi tempat itu, dengan aku yang berada di balik punggungnya yang setia mengikutinya.
Jalan yang ia bawa menuju rumah cukup jauh. Layaknya orang yang tengah buta aku di bawa diantara bayang-bayang cahaya senja pada sore hari. Aku takut, tapi anak lelaki yang ada di depan ku membuatku menjadi tangguh untuk sesaat ini walau pikiran yang tidak menyenangkan itu tak pernah jauh barang sedikitpun dariku.
Jauh dan semakin jauh aku melangkah, cahaya senja telah berganti menjadi cahaya kebiruan yang menerangi langit malam. Langkahku yang terseok-seok di antara rapuhnya dedaunan dan ranting kini beralih pada jalan yang telah beraspal dengan baik. Sayup-sayup suara langkah kaki ayah yang begitu kukenali segera berlari kencang ke arah ku.
“Bilqis.” Ucapnya segera berlutut untuk memelukku dan menciumku dengan penuh kasih.
“Kemana kamu seharian ini? Ayah dan yang lain mencari kamu seharian ini.” ucap Ayah dengan khawatir tanpa melemahkan pelukannya barang sedikitpun.
Aku balas memeluk ayah dengan erat walaupun nyilu pada tubuhku semakin terasa. Dan menangis segugukan sambil mencoba meminta maaf dengan suara yang samar.
“Ada apa Bilqis? Ada apa? Kenapa?” tanya Ayah ku yang keheranan.
Aku menceritakan hal yang terjadi pagi itu pada Ayah. Walau suara parau dan dengan segugukan ayah tampak geram mendengar cerita itu. Wajahnya merah padam dan kerutan keningnya tampak tak sedikitpun luntur memendam rasa kesal.
Anak lelaki yang berdiri di balik punggung ayahku tampak hanya diam saja tanpa ada sedikitpun suara. Ia hanya bernafas dengan tenang mendengarkan ceritaku, tapi sesekali ia tampak mencengkram ranting ditangannya dengan erat hingga patah.
Ayah sempat terkejut saat melihat anak lelaki yang ikut geram mendengar ceritaku. Ia segera mendekati anak lelaki itu sambil mengendongku kemudian ia sambil mengusap dahi anak itu.
“Kamu tinggal dimana nak? Biar bapak antarkan. Dan terima kasih sudah mengantar Bilqis.” Ucap Ayah terus mengusap dahi anak lelaki itu dengan sayang.
“Tak apa, Pak. Saya bisa pulang sendiri. Yang terpenting sekarang Bilqis sudah pulang.” Ucap anak lelaki itu tersenyum tipis dan melirikku yang masih memeluk ayahku dengan erat. Berlahan ia melangkahkan kakinya menjauhi tempat dimana ia mempertemukan aku dan Ayah. Dan di balik gelapnya malam itu ia menghilang begitu saja tanpa ku ketahui.
Ayah sempat hendak melaporkan kejadian ini pada pihak berwajib. Namun, terlalu banyak pertimbangan akan menjaga keeratan hubungan keluarga besar kami.
Ayah mengalah dan memilih pindah malam itu juga dari gubuk kecil kami. Kami pindah ke sebuah rumah kontrakan yang dekat dengan tempat tongkrongan ayah sebagai tukang becak. Ayah yang sudah terbiasa pergi pagi dan pulang sore kini setiap waktunya untuk melakukan sholat wajib, ayah selalu pulang untuk mengawasiku.
Tapi aku tak lagi seperti yang dulu. Bilqis yang suka tertawa dan cepat berteman kini beralih menjadi Bilqis yang suka mengurung diri. Aku benci melihat orang-orang yang menatapku dan aku benci saat orang-orang memuji kecantikanku. Aku hampir saja dinodai karena kecantikanku, dan aku memberi kesimpulan aku harus jelek untuk menghindari hal itu terjadi kembali.
Tubuh kecilku beralih menjadi lebih berisi sejak berkembangnya waktu. Wajahku yang putih bersih kini berubah menjadi kecoklatan. Tak ada senyuman hanya tatapan sinis yang selalu menghiasi. Tawa yang bahagia kini beralih menjadi tawa yang menyindir sehingga tak banyak yang mau berteman denganku dan anehnya itulah yang ku inginkan.
Ayah selalu mencoba untuk mengubahku menjadi Bilqis yang dulu, tapi tidak dan aku menolak untuk kembali pada waktu itu.
***
To be continue
I need You'r comment guys for the Next chapter#ngelunjak
(20 komen untuk part selanjutnya ^_^ )
Wassalam Quesha Anya
KAMU SEDANG MEMBACA
Bride & Groom (Bilqis & Harry Tales Series)
RomantizmSejumlah part di private (ayo di follow dulu 🤗) demi kenyamanan bersama. Di larang keras bagi yg belum cukup umur untuk membaca cerita yang di private. ------------------------------------------------ Cerita pasangan muda yang baru saja menikah...