Dua Puluh Tujuh (End)

281 14 5
                                    

Bilqis POV.

Jauh kelam dimata, aku merindukan orang-orang yang kusayangi dan rindu pada mereka yang telah tidak kulihat. Rindu akan semua apa yang ada pada diri mereka. Rindu akan apa yang sudah tiada.

Aku mendengar suara isak tangis yang begitu menyayat hati dengan punggung lengan yang telah basah. Mata yang rindu akan keramaian kini sunyi ditemani oleh kegelapan. Sulit membuka mata apalagi menggerakkan seluruh tubuh.

“...Bil.... Ba... A....Mu...” bisik seseorang pada telinga yang samar-samar terdengar.

Suara Harry terdengar lemah ditelingaku dengan suara isak tangis ikut menyertai. Aku ingin membuka mata dan mengusap punggung Harry ataupun mengobati lukanya yang berdarah. Tapi sulit sekali untuk menggerakkan tubuhku bahkan sekedar membuka kelopak matapun begitu sulit.

“Bil... Ta.. Mu.. Qis.. Ba.. Ngun... Lah...” ucap Harry yang lagi-lagi terdengar lemah pada telingaku.

Semua kata-kata itu terputus sejak aku sadar dalam kegelapan ini. Tapi kata-kata terakhir membuat hatiku ingin memberontak.

Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana keadaan kepala Harry yang terluka? Aku ingin bebas dari kegelapan ini. Aku ingin bangun. Aku ingin bangun! Ku mohon Ya Allah. Kembalikanlah aku kepada cahaya, suamiku membutuhkanku, anak yang berada dikandunganku membutuhkanku. Ku mohon.

Aku terus bersenandung memohon ampun sambil mencoba memberontak, tak peduli apa yang tengah terjadi. Aku ingin segera bangun, aku ingin segera bangun dari kegelapan ini dan melihat cahaya. Aku merindukan Harry, aku merindukan keluargaku yang sudah lama tidak kulihat. Aku ingin bangun. Aku merindukan dirinya.

Sedikit demi sedikit cahaya tampak pada sudut pandanganku. Seseorang tampak berdiri di sana dengan sebuah senyuman yang begitu kurindukan. Aku dengan senang hati berlari kearahnya dan segera memeluknya dengan erat.

“Apa kabarmu?” tanya Heri dengan senyuman polosnya menatapku dengan indah.

“Baik. Bagaimana denganmu?” tanyaku yang mengalungkan kedua lenganku pada lehernya.

“Tidak ada yang berubah. Seperti ini sejak dulu.” Jawabnya singkat tanpa menghapuskan senyumannya yang begitu kurindukan.

“Aku pun sepertinya begitu.” Jawabku memperhatikan tubuhku yang mengenakan gamis panjang berwarna putih dengan rambut yang tergerai indah.

“Kau semakin tampan. Rasanya akan sulit untuk berpaling darimu jikalau kau seperti ini.” ucapku yang mengusap halus permukaan pipinya layaknya mengusap kasmir yang begitu berharga.

“Halus sekali.” ucapku yang tersenyum memandangi mata kelam Heri yang ikut menatapku dengan senyumannya yang tak luntur.

“Jangan berbohong, Bilqis. Baru saja kau menginginkan untuk menyelamatkan anakmu dan merindukan suamimu. Apa kau tak takut jikalau kau harus pergi bersamaku saat ini? Apa kau tak ingin merasakan kebahagiaanmu lebih lama lagi?” tanya Heri yang membuatku berkerut kening.

Apa yang ia maksudnya dengan anak dan suami, sudah jelas aku berada bersama Heri yang menjadi penyelamatku sejak kecil. Apa lagi yang ku dustakan sejak aku melarikan diri dari kenyataan. Aku menatap mata kelam itu sesaat dan mencoba mengingat apa yang seharusnya aku ingat.

“Belum saatnya kau berada di sini, Bilqis.” Ucap Heri yang mengusap lembut pipiku dan menyelipkan rambutku kebelakang telinga sambil tersenyum.

“Harry menunggumu di sana. Bidadari pembawa kebahagianku harus kembali agar dunia Bilqisku tetap dalam kebahagiaan.” Ucap Heri dan menyentuh puncak kepalaku.
Ia mengusap kening hingga jatuh menutup mataku. Aku merasa damai dan begitu tentram hingga kegelapan itu kembali memenuhi penglihatanku.

Bride & Groom (Bilqis & Harry Tales Series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang