Dua Puluh Tiga

214 11 6
                                    

Aku menguap lebar sambil menduduki koperku dan Daniel yang berada di atas troli sambil menunggu pengumuman untuk keberangkatan kami untuk pulang. Walau tidak begitu lama berada dikota yang terkenal dengan kopinya ini. Tapi kenangan saat berada disini tercetak dengan jelas. Apalagi saat bersama dengan gadis dengan wajah bercahaya itu. Mungkin akan sangat sulit untuk melupakannya walau sekejap saja.

“Ini kota terburuk yang kita kunjungi sejauh ini.” Keluh Daniel yang mengecek foto-foto pada ponselnya dan sesekali melirik papan jadwal keberangkatan.

“Untukmu ini yang terburuk. Tapi sejauh ini. Tempat inilah yang paling bagus untukku.” Ucapku melirik Daniel yang mendengus sebal tanpa menatapku.

“Baiklah. Aku mengakui aku sedikit kesal dengan gadis cantik yang menolakku saat aku mengajaknya bercinta. Seharusnya aku tidak membawa wanita-wanita itu bersamaku. Mungkin ia akan berpikir ulang saat aku menawarinya. Tapi sungguh semua perkataannya begitu menampar perasaanku. Aku tidak lagi memiliki..” Daniel tampak berpikir keras saat menumpahkan perasaannya padaku untuk pertama kalinya.

Mungkin ia merasakan hal yang sama juga pada saat menatap Bilqis. Tapi bukannya aku merasa terancam, aku malah senang Daniel dapat melepaskan bebannya dihadapanku.

Aku tersentak kaget saat mencerna dengan baik semua perkataan Daniel. Tujuan awal kami yang mencari kebebasan buyar seketika karena bertemu seorang gadis. Gadis yang memiliki visi yang jauh dari yang kami inginkan.

“Kami umat muslim mengganggap sex tanpa adanya ikatan adalah dosa. Sekalipun kau menawari ribuan bahkan jutaan dolar. Aku tidak akan goyah barang sedikitpun. Mungkin berbeda dengan gadis yang telah kau temui selama ini. Tapi aku merasa itu adalah kebebasanku untuk memilih bagaimana aku akan bertindak.” Jelas Bilqis yang tiba-tiba saja muncul dari balik punggung kami berdua.

Aku terkejut hingga berdiri dengan tegap menatapnya. Daniel juga sama terkejut tapi ia hanya terduduk sambil membeku.

“Bagaimana kau berada di sini?” tanyaku pada Bilqis yang sudah beberapa hari tidak kami temui sejak terakhir kali kami berada di kedai kopi miliknya.

“Aku mengantar tamuku.” Jawabnya santai dan melirik ke sana dan kemari.

“Aku membawakan oleh-oleh untuk kalian. Maaf. Dan aku akan menjelas sebuah definisi kebebasan yang kupikir kalian ingin untuk cari.” Ucapnya terkekeh sambil melirik Billa yang muncul dengan sebungkus plastik yang ku duga berisikan biji kopi karena tercium bau khas yang menguar darinya.

“Aku sudah mendengarnya dari Billa kalau kalian mencari kebebasan yang ada pada diri kalian dengan mengelilingi bumi ini.” ucap Bilqis yang terkekeh dan melirik Daniel yang masih membeku ditempatnya berada.

“Mungkin kau berpikir, dengan aku menutupi diriku dengan jilbab ini aku telah menutup diriku dari kebebasan.” Ucapnya yang tampak menatapku dengan lembut berbeda dengan terakhir kali dan sebuah senyuman terukir indah pada wajahnya dan hatiku yang merekah kembali terasa.

“Aku tidak menutupinya. Aku menjaga kebebasan itu tetap pada tempatnya. Sama halnya dengan peraturan yang ingin menjaga orang yang mematuhinya. Begitu pula dengan jilbab ini. Agamaku, Islam mungkin terdengar begitu mengerikan untuk kalian yang tidak mengenalnya. Tapi agama kami sendiri adalah agama yang mencintai kedamaian. Bukan hanya kedamaian pada tubuh kami tapi juga hati kami.” Jelas Bilqis yang menunjuk kearah jantungnya berada dan menatapku yang seolah matanya berbinar terang.

“Bebas yang sesungguhnya berada dihati kalian yang menginginkan kedamaian.” Ucapnya sekali lagi dan terkekeh.

“Wassalamualaikum, Harry dan Daniel, semoga kalian menemukan kedamaian itu.” ucap Bilqis yang mempersilahkan Billa untuk memberikan bingkisan biji kopi itu kepada kami dan segera berbalik untuk pergi begitu saja.

“Waalaikumsalam.” Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku karena terlalu sering mendengarnya selama beberapa hari ini.

Kurasa tak ada salahnya menjawab hal itu, tapi penjelasan yang ia berikan membuatku tergugah untuk merasakan kedamaian hati seperti yang ia katakan.

“Bilqis.” Panggilku yang berlari kearahnya.
Bilqis menghentikan langkahnya dan menatapku yang mendekat kearahnya. Tepat saat aku berhenti selangkah tak jauh darinya aku menatap matanya yang indah dari jarak dekat.

“Aku ingin bersamamu. Aku ingin menemukan kedamaian itu. Apa yang harus aku lakukan?” tanyaku yang menatap iris matanya dengan teliti.

“Carilah sendiri dengan hati yang ikhlas. Allah akan menuntunmu ke jalan yang benar. Dan aku tidak bisa bersamamu.” Ucap Bilqis menunjuk dadaku tanpa menyentuhnya dan segera berbalik untuk pergi tanpa banyak berkata.

“Selamat jalan Tuan Coulter.” Ucap Billa yang melambai lembut padaku dan berlari-lari kecil mengejar Bilqis yang pergi.

***
Bersambung

Hehehe maaf update kali ini sedikit.
Lain kali banyak deh.. Mungkin karena tinggal beberapa part lagi

Wassalam Quesha Anya

Bride & Groom (Bilqis & Harry Tales Series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang