1

1.3K 34 1
                                    

Hari masih pagi, kampung kecil Sungai Penuh masih berkabut. Masih sabak penglihatan ke arah Gunung Tangah dan Gunung Koyang yang mengelilingi kampung kecil itu, karena sinar mentari masih bersembunyi di peraduannya.

Masih basah semak-semak  yang berada di kiri dan kanan jalan oleh sisa embun. Air Sungai Batang Hari yang mengalir membelah kampung lengang ini dengan tenang, melampiaskan angin kepagian yang menyemilu.

Sungai Penuh yang dimaksudkan di sini, bukanlah yang terletak di Kerinci, Provinsi Jambi. Tetapi terletak di Nagari Lubuk Ulang Aling, Kecamatan Sangir Batang Hari, Solok Selatan, Sumatera Barat(Sumbar). Nagari yang dimaksudkan di sini, sama seperti Desa di Jawa.

Beberapa rumpun rumput sarut di kiri kanan jalan, yang kemarin sore sudah memerah setelah lelah seharian di bakar matahari, kini tampak bersemangat kembali, setelah diselimuti titik embun pagi yang lembab.

Tiang Bungkuk, seorang lelaki berbadan kekar, berdegap dan tinggi, sedang berjalan menelusuri hutan rimba belantara arah ke belakang kampung  itu.

Ditangan kanan terhunus sebuah galewang, semacam parang bermata lebih kecil dibandingkan dengan mata parang biasa. Tapi amat terkenal tajam dan berbisa.

Dipinggangnya tergantung nasi berbungkus dengan daun pisang dan setabung air minum, yang disediakan ibu Nurana, seperti yang dilakukan wanita itu setiap pagi terhadap anaknya ini.

Celana pendek kumal dan baju kaos oblong berwarna hitam yang sudah koyak-koyak dipunggung, yang dipakai Tiang Bungkuk pagi itu, tampak telah basah disiram embun yang bergelantungan disemak kiri kanan pada sepanjang jalan yang dilaluinya.

Namun badanya masih merasa panas, karena disamping hal ini sudah biasa dijalaninya saban hari, juga disebabkan asap rokok daun enau yang menghiasi bibirnya.

Sesekali kepalanya ia gelengkan ke kanan dan ke kiri ketika ranting kayu dan onak duri hendak menjangkau rambut dikepalanya yang hanya berlilitkan akar kalimpanang itu.

Sebagai seorang anak kampung yang tinggal di sekeliling rimba raya, berjalan di dalam hutan seperti ini bukanlah hal baru lagi bagi Tiang Bungkuk.

Kendatipun tidak memakai alas kaki, namun jalannya tak terganggu oleh onak dan duri, batu dan karang. Kakinya sudah bersahabat dengan semua itu.

Pengalaman berjalan dihutan sejak kecil, semenjak ayahnya Pak Amir Mangkik masih hidup, telah membuat Tiang Bungkuk tidak canggung menelusuri belukar dan hutan bakau sekalipun.

Dalam langkah-langkah kaki Tiang Bungkuk yang kian menjauh dari kampung  kecil Sungai Penuh, dia merasa sedikit lelah. Dia ambil tabung air dari pinggangnya, dan dia teguk airnya beberapa kali sembari berhenti duduk sejenak pada sebuah banir kayu.

Ketika dahaganya telah kembali hilang, matanya menyelinap di sela-sela pepohonan merantih, ketaping dan timbulun, melihat kalau-kalau ada rotan yang bisa diambil dan dia hela pulang hari ini.

Pada sebuah pandangan arah ke kaki Gunung Tangah, dia melihat ada satu lekuk. Biasanya dilekuk seperti itu, tumbuh rotan. Tempat itu sesayut-sayut (sayup-sayup ) mata Tiang Bungkuk memandang, dari liang-liang pepohonan dan akar-akar kayu yang padat.

Hatinya berbunga. Tiang Bungkuk gembira. Dengan bergegas mengikatkan tali tabung airnya kepinggang, tiang Bungkuk berjalan menuju lokasi itu.

Dia berjalan cepat sekali. Ranting-ranting kayu yang menjulur ke jalan yang hendak ditempuh Tiang Bungkuk, dia pancung dengan enteng.

Setelah beberapa saatnya berjalan, timbul niat dalam hati Tiang Bungkuk untuk makan terlebih dahulu, sebelum sampai ke lokasi yang dia tuju. Sebab sudah hampir setengah hari.

Pendekar Gunung SangkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang