20

256 12 0
                                    

“ Rebuslah pisang muda itu Jus..!”, ujar Ibu Nurani memecah kesunyian sembari menunjuk ke setandan pisang batu muda yang terletak di dekat pintu masuk rumah.

“ Biar aku yang mengubaknya “, kata Pardi.

“ Tidak perlu di kubak. Rebus saja dengan kulitnya. Malam-malam begini enak sekali rebus pisang muda “, tutur Ibu Nurani.

Pardi mengambil pisang yang masih ditandannya itu. Kemudian dia pisahkan dari tandannya. Dia masukan langsung ke dalam periuk. Dia beri air. Selanjutnya, barulah Jusni meletakkannya ke atas tungku. Seusai meletakkan periuk berisi pisang itu ke atas tungku, dia kembali duduk dengan posisi seperti tadi.

“ Sekarang sebaiknya kamu jawab saja. Apakah kamu setuju menikah segera, atau tunggu tiga atau enam bulan lagi ?”, tanya Ibu Nurani sembari memperbaiki selimut yang membelit di badannya yang hanya memakai kutang buruk ini.

Jusni tak segera menjawab. Dia mempermainkan salung bambu penghembus api dengan tangannya yang sedikit berabu. Kemudian dia tokok-tokokkan salung itu ke kukung dapur, yaitu kayu yang melingkar penahan abu.

Sunyi kembali tiba. Yang terdengar hanya suara pukang dari kejauhan di hutan sana. Sesekali ditimpali suara kuau. Beberapa saat kemudian, terdengar pula suara siamang.

Begitu terdengar suara siamang, Pardi dan Imran melompat mendekati Bujang Tigo. Mereka ketakutan. Menurut cerita Ibu Nurani yang pernah dia sampaikan kepada anaknya, kalau terdengar suara siamang di malam hari, ada membawa beberapa pertanda.

Pertama, memberi pertanda bahwa akan ada orang mati berdarah, apakah mati jatuh, mati karena luka atau mungkin juga mati karena terkaman binatang buas, seperti harimau, cuping dan lain sebagainya.

Selanjutnya, memberi pertanda bahwa urat kayu tempat mereka tidur diinjak harimau. Disamping itu, juga memberi pertanda bahwa musim hujan akan segera tiba.

“ Kalian penakut amat. Siamang itu berbunyi karena hari hujan. Dalam hutan tidak boleh terlalu penakut. Kalau takut saja terus menerus, kemana harus pergi. Kita sudah hidup dan mati di sini “, kata Ibu nurani menasehati anaknya.

Mendengar ucapan ibunya barusan, pardi dan Imran tertawa. Mereka sekarang tak takut lagi dengan suara siamang tersebut. Mereka telah kembali duduk ke tempatnya tadi.

“ Kalau begitu, baiklah. Aku setuju. Sekarang hari Senin, bagaimana kalau hari Kamis besok saja pergi menikah ke Dusun Tangah “, ujar Jusni.

Sehabis mengucapkan kata-kata itu dia menangis. Air mata menitik ke pipinya. Terasa hangat. Sehangat perasaannya yang sedang bergemuruh sepi.

Jusni teringat dengan ayahnya. Kalaulah ayahnya masih hidup, tentu tidak dia yang akan mengatakan demikian, tetapi ayahnyalah yang akan menetapkan hari pernikahan tersebut.

Jusni teringat dengan nasibnya yang tidak bermamak. Kalau dia punya mamak, tentu mamaknyalah yang bakal turut menetapkan hari pernikahannya dengan mamak Bujang Tigo.

Disamping sedih dengan nasibnya, Jusni juga sedih mengingat nasib Bujang Tigo, yang sama sekali tidak memiliki ayah, ibu dan sanak saudara. Hidup hanya sebatang kara.

Dalam hati Jusni berbisik, sungguh Tuhan telah mempertemukan dua orang manusia yang sama-sama hina, sama-sama miskin, sama-sama tidak punya karib kerabat yang terpandang, dan sama-sama hidup bagaikan musafir yang tak tentu arah serta tujuan yang pasti, yaitu dia dan Bujang Tigo.

Namun hati Jusni tiba-tiba kuat kembali, karena mereka sama-sama senasib sepenanggungan. Sebab, kalau satu kaya, satu miskin, yang kaya tentu nanti akan menganggap enteng si miskin. Atau setidaknya, simiskin akan merasa rendah diri dengan si kaya.

Hati Jusni berbisik bertdoa kepada Tuhan, kiranya dia kan diberi kebahagiaan nanti dalam pernikahannya. Kalaupun tidak kebahagiaan materi, kebahagiaan harta benda, kebahagiaan bathin baginya sungguh amat penting.

“ Mengapa kamu menangis nak ?”, tutur Ibu Nurani sembari menjerembab ke pelukan Jusni. Wanita itu turut menangis sembari menyebut-nyebut suaminya.

“ Kalaulah ayahmu masih hidup, tentu dialah yang akan menetapkan hari pernikahan kalian. Tetapi apalah daya. Tuhan berkehendak lain “, tutur Ibu Nurani terisak.

“ Sudahlah, bu. Biarlah semua ini Tuhan yang tahu dengan pasti. Semuanya adalah kehendak Allah Yang Maha Kuasa. Utang kita hanyalah menepati “, tutur Jusni sembari membelai-belai rambut ibunya.

Pardi, Imran dan Bujang Tigo hanya diam saja. Imran berupaya menahan air matanya dengan menengadah ke atap rumah. Pardi pun demikian.

“ Taklah perlu semua ini ditangisi. Masih beruntung Jusni, karena masih punya ibu, dan masih punya adik. Nasibku, entahlah. Ayahku meninggal ketika aku masih kecil. Ibuku meninggal dibunuh orang,  yang hanya mayatnya saja aku yang melihat. Waktu dia dibunuh aku tak tahu. Si pembunuh itulah yang membawa mayatnya kepadaku. Sadis dan benar-benar menyakitkan. Jadi, dalam hidup ini, tidak boleh pula kita menganggap bahwa kita saja yang sengsara. Tanpa kita sadari, mungkin lebih banyak orang yang lebih menderita dari kita. Tapi, sakit kita tentu kitalah yangh lebih tahu. Sakit orang lain,  dia pula tentunya yang lebih tahu dengan pasti. Sekarang marilah kita serahkan semuanya kepada Allah. Mari kita buktikan  kepada-Nya, bahwa kita adalah umat yang patuh kepada-Nya. Tuhan tidak melihat kepada kaya dan miskin seseorang. Tetapi melihat kepada patuh atau tidaknya seseorang kepada-Nya. Kalau kita mengatakan sekarang kitalah yang paling menderita, lebih menderita lagi para Nabi dulu ketimbang kita. Atau,  masih banyak lagi orang yang kini lebih menderita dari kita. Kita masih bisa tidur tanpa terkena hujan. Kita masih punya beras. Kita masih punya maju kendatipun buruk. Ada orang yang agaknya kini yang tidak punya rumah, yang sedang menggigil kedinginan, yang tidak punya nasi untuk penenangkan tangis anak mereka yang tengah diserang kelaparan, yang telah berhari-hari memekik meminta nasi. Bayangkan, betapa hancurnya hati kedua orang tuanya mendengar tangis anaknya tersebut. Ketika hendak memberi anak kesayangannya makan, nasi tak ada. Uang tak ada pembeli beras. Disaat mencoba meminjam kerumah sebelah, orang itu tak mau pula meminjamkan, karena hutang beras dulu belum lagi dibayarnya “, ujar Bujang Tigo menasehati ibu dan Jusni.

Seisi rumah itu tertegun mendengar buah tutur Bujang Tigo. Bagi Jusni dan ibu Nurani, yang dikemukakan Bujang Tigo barusan, sama seperti siraman air di saat panas tiba. Rohani mereka terasa terobati.

Pendekar Gunung SangkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang