8

438 17 0
                                    

Tiang Bungkuk melangkah berjalan keujung halaman tersebut. Sedang lelaki yang tiga orang ini telah berdiri sejajar bertiga. Kemudian terdengar telapak tangan ketiganya berdetak, serempak. Badannya meliuk-liuk dan ujung jari ketiganya bagaikan pisau merentang dan melayang meliuk-liuk diudara.

Tiang Bungkuk menuruti gerak langkah dan liuk-liuk ujung jari ketiganya itu. Kadang-kadang Tiang Bungkuk merendah dan dadanya melata ke tanah. Kadang-kadang meninggi, bagaikan harimau yang sedang melompati mangsa. Lelaki yang tiga orang ini juga demikian.

Sesekali terdengar gedebak celana hitam berkaki besar ketiga lelaki itu menerjang sembari melangkah lambat dengan langkah empat menuju ke arah Tiang Bungkuk. Tiang Bungkukpun demikian pula menuju ke arah ketiganya.

Semakin lama mereka semakin saling mendekat, dengan langkah yang bagai kilatan pisau tajam yang bermata mengkilat menyilaukan mata.

Sudut maga keempat manusia itu bagaikan setajam pedang. Dia telah semakin saling mengintai diantara mereka yang akan bisa terlengah.

Setelah semakin dekat, satu orang diantara yang tiga orang tadi menyerang Tiang Bungkuk. Dia melompat ke arah tengkuk Tiang Bungkuk.

Ketika kakinya hampir hinggap di tengkuk Tiang Bungkuk. Tiang Bungkuk mengelak. Dia surut ke belakang dan merendah. Begitu sasaran kaki pemuda berpakaian serba hitam itu tak mengena, langsung Tiang Bungkuk memasukan tinjunya ke arah rusuk lelaki itu.

Lelaki itu tersengkur, darah mengucur dari mulutnya. Badannya lemas dan terbujur di sudut halaman, kakinya tampak menggelepar-gelepar.

Melihat kawannya demikian, kedua lelali itu sama-sama maju, yang satu maju dengan serangan melalui kaki dan yang satu lagi melalui tangan. Yang satu menerjang dan yang satu lagi meninju.

Dengan membacakan mantera tolak sikapung, dan mengiringinya dengan gayung secabik kafan, langsung keduanya tersungkur kepinggir halaman.

Satu diantaranya berdiri. Ketika akan mnangkap leher Tiang Bungkuk, langsung dia tepis tangan lelaki itu. Seiring dengan itu dia serang dengan langkah empat dan tangkap malaikat maut.

Lelaki itu kembali tersungkur. Tak bangun lagi. Tubuhnyapun terkapar sembari menggelepar-gelepar bagaikan ikan kekeringan air dalam sebuah kolam.

Begitu ketiganya telah benar-benar terkapar, melompat seorang lelaki separoh baya dengan kepala berikatkan kain putih, bercelana hitam, berkeris terhunus di tangan kanannya ke tengah halaman.

Tiang Bungkuk tak sempat melihat, dari mana dia datang. Namun hanya dia lihat telah di awang-awang saja. Tiang Bungkuk melihat hanya persis kakinya akan tercecah ke tanah saja.

Sesampai di halaman, tanpa berbicara sepatahpun langsung membuka langkah ke arah Tiang Bungkuk. Tiang Bungkuk kembali membuka langkah pula.

Tiang Bungkuk meladeni laki-laki itu. Dia membuka langkah empat. Karena laki-laki itu menghunuskan keris, Tiang Bungkukpun mengambil parang dari sarung yang tergantung dipinggangnya.

Keduanya sudah sama-sama memegang besi tajam. Yang satu memegang keris dan yang satu lagi memegang parang. Baik keris maupun parang yang dipegang kedua pendekar itu sama-sama tajam, sama-sama mengkilat putih.

Kadang keduanya sama-sama merendah, kadang meninggi, kadang melentikan jari, dan kadang malah menajamkan sudut matanya yang sama-sama menjaga garis dan angin.

Tak lama kemudian, keduanya sama-sama mendekat, saling menyerang dan kadang sama-sama terpental. Sepak dan terjang, tinju dan tampar  sudah sama-sama saling mengena.

Namun keris dan parang tersebut belum satupun yang mengena. Belum ada satu kalipun diantaranya yang terkena besi yang selalu melayang-layang diudara.

Pendekar Gunung SangkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang