19

245 11 0
                                    

Tak berapa lama kemudian, Ibu Nurani, Jusni, pardi dan Imran datang dengan masing-masing membawa cangkul, parang. Sesampai di sana, Pardi dan Imran membantu Bujang Tigo menggali tanah. Jusni dan Ibu Nurani berdiri saja.

Selanjutnya, Ibu Nurani dan Jusni membantu mengeluarkan tanah yang sudah tergali dengan keranjang rotan yang pernah dibuat mendiang Pak Tian semasa hidupnya.

Sekitar satu jam kemudian setelah kuburan itu siap, Bujang Tigo dengan dibantu Imran dan Pardi menggulingkan kedua harimau tersebut ke dalam kuburan. Mereka tidak bisa mengangkatnya, karena terlalu berat. Harimau itu sungguh besar-besar.

Keduanya sama-sama belang tiga. Yaitu belang tiga kuning, hitam dan sedikit bercampur putih. Yang satu jantan, dan yang satu lagi betina. Mungkin saja yang mati pertama suami dari yang mati ke dua.

Setelah kedua harimau ini di timbun, mereka sama-sama pulang ke rumah. Hari sudah mulai temaram. Matahari sudah hilang ke balik bukit. Burung kekek dan enggang telah terbang di atas ladang keluarga ini, demi untuk mencari tempat permalamannya.

Kelima orang ini bergegas ke sungai membasuh tangan. Tidak satu pun diantara mereka yang mandi, karena hari sudah hendak senja. Rasa takut masih tersisa di tubuh ibu Nurani, Jusni, apalagi Pardi dan Imran

Kalian tak usah mandi. Begitu juga kamu Bujang Tigo. Ibu khawatir dengan sesuatu hal yang tidak kita inginkan nanti. Lebih baik kita ingat sebelum terjadi sesuatu", ujar wanita itu.

Meskipun di dada Bujang Tigo telah ada tanda-tanda bahwa sama sekali tidak akan ada kejadian apa-apa, namun dia tidak mau menyanggah apa yang diucapkan ibu angkatnya ini.

Bujang Tigo turut bersama Jusni dan kedua adiknya, mematuhi apa yang dikemukakan Ibu Nurani. Mereka sehabis mencuci kaki dan tangan, langsung pulang menuju rumah.

" Malam ini, kalian jangan tidur di pondok. Di rumah ini sajalah tidur. Ibu masih khawatir dengan sesuatu ", kata Ibu Nurani.

" Menurutku, Insyaallah tak akan terjadi sesuatu", tutur Bujang Tigo.

" Pokoknya, di rumah ini sajalah kita tidur malam ini. Kita harus waspada dengan sesuatu yang mungkin saja terjadi. Apalagi kita berada dalam hutan belantara . Ini kan  kampungnya harimau ", jelas Ibu Nurani sambil mengambil kuali guna menggulai terung yang tadi diambil di ladang.

" Baiklah, kalau begitu kata ibu ", jawab Bujang Tigo. Wanita itu tampak senang sekali mendengar jawaban anak angkatnya yang rendah hati barusan.

" Kalau tidak ada kakak di sini, bagaimanakah jadinya kami sekarang. Sebab ayah sudah tak ada lagi ", tutur Imran sambil menengadah.

Lelaki itu tampak sedang teringat dengan ayahnya yang sudah tiada, yang selama ini bagi mereka ibaratkan sebuah pelabuhan tenang, tempat mereka menambatkan perahu, untuk berlindung dari keresahan hidup.

" Sudahlah, Imran. Janganlah itu kamu sebut juga. Kalau kamu mengungkit-ungkit hal ini, sama saja dengan membangkitkan luka lama. Yang terjadi itu, marilah kita serahkan semuanya kepada Allah. Kini kita meminta kepada-Nya, agar tak lagi ditimpakan-Nya kepada kita, beban yang amat berat, yang tidak terpikulkan oleh kita", jawab jusni.

Begitu masak nasi dan gulai, Jusni menghidangkannya. Mereka makan bersama. Mereka makan lahap sekali, dengan gulai terung. Gulai terung itu, hanya bercampur dengan garam dan cabe giling. Tidak ada memakai resep lain.

Anehnya, makan keluarga itu tampak lahap sekali.mereka penuh rukun. Tidak seperti kebanyakan orang-orang di kota besar, yang walaupun makan dengan hidangan yang lezat-lezat, berharga mahal, namun tidak enak juga, kerena tidak dalam keluarga itu kerukunan dan kedamaian. Yang ada hanya kesibukkan, kekisruhan dan kejenuhan.

Pendekar Gunung SangkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang