Kinilah baru Ibu Nurani dan Jusni serta Pardi dan Imran tahu, bahwa orang tua Bujang Tigo sudah tiada. Dan kini pulalah baru mereka mengetahui, bahwa ibu Bujang Tigo mati dibunuh orang.
Sungguh terenyuh hati Ibu Nurani mendengar kata-kata calon menantu yang juga anak angkatnya ini. Sunguh satu kepahitan hidup yang tidak ada tandingan, yang dirasakan Bujang Tigo.
Yang membuat Ibu Nurani kagum, dengan beban penderitaan yang demikian parah, Bujang Tigo masih bisa berpikiran jernih, berpikiran yang diluar kufur dan marah kepada Allah. Masih bisa dia menyadari, bahwa semua ini kehendak Allah. Sungguh luar biasa anak ini, bisik hati kecil Ibu Nurani.
Jarang ada orang yang bisa berhati demikian. Apalagi Bujang Tigo hanyalah anak yang tidak mengenyam bangku pendidikkan di sekolah umum, yang sama sekali tidak punya pengalaman apa-apa. Dia tidak tahu dengan huruf, tidak mengeti dengan ilmu jiwa. Tidak paham dengan ilmu Filsafat, tidak pernah belajar tentang ilmu sosiologi atau ilmu kemasyarakatan.
Dalam hati Ibu Nurani seakan berbisik, kalaulah nanti dia jadi menjadikan Bujang Tigo sebagai menantu, mungkin keluarganya akan dapat menjadikan Bujang Tigo sebagai pelindung yang benar-benar pelindung, yang tidak hanya sekedar suami anaknya saja, tapi juga pemimpin dalam keluarganya, dalam arti pemimpin bagi dia sendiri dan bagi Pardi serta Imran. Kalau istilah yang ada di Minangkabau, Bujang Tigo akan bisa menjadi urang sumando ninik mamak. Bukan urang sumando kacang miang, urang sumando lapik buruk dan urang sumando langau hijau, yang kerjanya hanya suka membuat orang teraniaya, yang hanya suka tidur di rumah dan malas bekerja serta suka membuat orang resah di dalam kampung.
" Rebus pisangnya sudah masak mungkin. Coba lihat ..!", kata ibu kepada Jusni.
" Aku yang melihatnya. Aku yang mengambil pertama ", kata Pardi.
Dia bergegas ke dapur. Dia buka tutup periuk. Asapnya menggebubu ke udara. Pardi mengambil sebuah pisang dengan mencongkelnya dengan senduk.
Begitu tiba di lantai, langsung dia kubak sambil menghembus tangannya yang terkena panas buah pisang masih berasap tersebut. Sehabis dia buka kulitnya, dia tertawa girang.
" Sudah. Sudah masak. Bangkit saja. Bawa saja periuknya ke tengah rumah. Tarok saja di sini ", tutur Pardi sambil menunjuk tengah rumah kecil itu,
" Kamu bodoh. Masak periuk di tarok di tengah rumah. Apa kamu tak tahu, bahwa periuk ini penuh arang hitam? ", ujar Jusni kesal bercampur senang melihat adiknya ini.
Jusni memadamkan api dapur dengan menyurutkan puntung-puntungnya yang sedang menyala. Kemudian, setelah habis gelegak air dalam periuk itu, Jusni memindahkan pisang kedalam niru. Selanjutnya niru berisi pisang itu dia letakkan di tengah rumah. Niru adalah semacam untuk ' penampih ' beras, terbuat dari sembilu bambu yang dianyam sedemikian rupa.
Begitu pisang tersebut sampai di tengah rumah, langsung diambil Imran satu. Dia kupas kulitnya dengan tangan yang kepanasan.
" Ambillah kak ! Kalau kakak malu-malu, berarti kakak jatuh cinta ", kata Imran.
" Hus...kamu ini ada-ada saja ", sergah Ibu Nurani.
Imran diam. Dia mengambil sebuah pisang lagi. Dia kupas kulitnya dengan sesekali menghembus tangannya yang kepanasan. Selanjutnya dia serahkan kepada Bujang Tigo.
" Biar kakak yang mengambil. Ambil saja itu untukmu...!, tutur Bujang Tigo.
" Untuk kakak saja. Saya tadi sudah berniat untuk kakak ", kata Imran.
Bujang Tigo mengambil pisang dari niru. Dia kupas kulitnya sendirian. Setelah dingin, ketiganya sama-sama mekan pisang. Ibu Nurani dan Jusni diam saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendekar Gunung Sangku
AcciónKisah dari Ranah Minang Tentang Pendekar Silat,Dendam,Kematian Dan Drama Cinta