Hutan ini terasa sepi. Tak ada suara yang terdengar, kecuali hanya suara singiang-ngiang rimba, yang sekali-kali ditimpali oleh suara burung enggang.
Entah apa sebabnya, ketika duduk sendirian itu, setelah habis sebatang rokok daun enau Tiang Bungkuk tertidur. Badannya ia sandarkan ke banir kayu.
Bungkus nasi yang sudah dia buka dan tabung air yang masih bergayut di pinggangnya, seakan menjadi saksi bisu bahwa tidurnya amat pulas.
Dan tak berapa lama dia tertidur, tiba-tiba Tiang Bungkuk bermimpi. Dia merasa didatangi seorang kakek berjenggot panjang dan putih. Kakek itu didampingi seorang gadis yang amat cantik.
Kakek ini memakai celana putih dan baju kuning. Sedangkan gadis itu memakai pakaian serba kuning, dengan rambut terurai sampai ke tumitnya.
" Hai, anak muda. Mengapa engkau ke hutan ini sendirian. Tidakkah engkau tahu bahwa ini kampung kami ? atau, tidakkah engkau tahu bahwa engkau sudah sampai di kaki Gunung Tangah ? Kalau engkau tahu, ini adalah kampung kami. Gunung Tangah, Gunung sangku dan Gunung Koyang, ketiganya adalah kampung kami. Tidakkah selayaknya engkau pergi ke sini seorang diri ", kata kakek tua berjenggot panjang itu .
Dalam mimpinya, Tiang Bungkuk sedikit terkejut melihat si tua dan anaknya itu, lama dia baru menjawab pertanyaan lelaki itu.
Setelah beberapa saat lamanya dia terdiam, kakek tua itu tertawa kepadanya. Gadis manis di belakangnya turut pula tertawa.
" Aku kesini bukan karena ingin bergembira kek, aku kesini mencari rotan. Rotan inilah yang aku jual untuk makan aku berdua dengan ibuku. Ayahku sudah lama meninggal. Tapi ... kek, tadi ketika aku mau makan, datang seekor ular. Dia ingin menerkamku. Untung saja dia dapat aku bunuh. Kalau tidak, mungkin sudah tamat riwayatku hingga disini kata Tiang Bungkuk apa adanya."
" Aku mengerti, sebelum engkau memberikan jawaban ini. Tapi engkau harus tahu, bahwa ilmumu yang engkau jadikan untuk pembunuh ular barusan belumlah seberapa. Engkau harus berguru lagi. Dan satu hal yang paling penting aku katakan kepadamu, yang mati itu adalah calon suami cucuku ini. Sedianya kami akan mengadakan pesta perkawinan satu minggu lagi, selama tujuh hari tujuh malam. Ini cucuku, bukan anakku seperti yang engkau sangkakan dalam hatimu tadi, jadi engkau harus berguru lagi, anak muda !. Terhadap kematian calon suami cucuku, kami tidak akan marah, tapi kalau engkau mau, aku ingin menjadikan engkau saja sebagai calon suami cucuku ini. Dia telah mengatakan mau " kata kakek itu.
Tiang Bungkuk terheran-heran, kakek itu kembali tersenyum sembari mengangguk-angguk. Sementara gadis manis semampai berkulit putih bersih itu turut pula tersenyum malu.
Dan ketika teringat dengan kata-kata kakek yang mengatakan ilmunya belum seberapa tadi, Tiang Bungkuk merasa marah.
Dia merasa dilecehkan, karena setelah sekian lama dia berguru, enteng saja situa itu mengatakan ilmunya belum seberapa.
" Kakek tidak selayaknya mengatakan ilmuku belum seberapa, sebab kata guruku, itu sama saja dengan melecehkanku. Untuk kakek ketahui, aku berguru sudah tidak satu tahun, tapi puluhan tahun, sudah semenjak aku berumur Sembilan tahun. Sangat sakit rasanya bagiku, ocehan kakek barusan", ujar Tiang Bungkuk.
Kakek tua itu tidak marah. Dia kembali tersenyum sembari mengurut-urut jenggot panjangnya. Beberapa kali dia batuk sambil meludah ke kiri dan ke kanan.
" Sekarang, supaya engkau puas, marilah kita uji tentang kata-kataku tadi. Duduklah, dan turutilah aku ", kata kakek itu sambil batuk beberapa kali.
Tiang Bungkuk duduk. Dia kemudian berdiri dan melangkah menuruti jalan kakek tua itu, kakek tersebut berjalan paling depan, nomor dua cucunya lalu Tiang Bungkuk paling belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendekar Gunung Sangku
AcciónKisah dari Ranah Minang Tentang Pendekar Silat,Dendam,Kematian Dan Drama Cinta