18

238 10 0
                                    

“ Harimau ini telah mati. Kesinilah ..!”, ujar Bujang Tigo sembari mengipas-ngipaskan tangan kanannya ke rumah. Melihat ini, Pardi dan Imran turun bergegas.

Mendengar telapak kaki Pardi dan Imran singgah di anak tangga turun cepat-cepat Jusni segera melangkah ke pintu. Dia bergegas melarang Imran dan Pardi turun.

Pardi berhenti dipertengahan jenjang rumah tersebut. Imran yang telah berlari jauh menghampiri Bujang Tigo. Lama Pardi menatap wajah Jusni.

“ Kamu jangan kesana. Itu harimau. Nanti kamu diterkamnya. Imran ini, ah. Tidakkah tahu dia bahwa itu harimau “, ujar Jusni menggarut-garut kepalanya penuh ketakutan.

“ Kata kak Bujang Tigo, harimau itu kan sudah mati “, ujart Pardi sambil melihat kepada Jusni.

“ Itu kan kata Kak Bujang Tigo. Bagaimana kalau harimau itu masih hidup. Atau kalau temannya datang dari hutan sana “, jawab Jusni.

Mendengar ucapan Jusni barusan. Pardi berlari kembali naik ke rumah. Dia takut. Pardi memang khawatir, kalau nanti nyampang harimau itu masih hidup. Atau jika nanti temannya datang.

Dari atas rumah, Ibu Nurani, Jusni dan Pardi menyaksikan Bujang Tigo dan Imran membolak balik tubuh harimau yang semampai itu.

Tak lama kemudian, ketika  Bujang Tigo sedang asyik-asyik membalik-balikkan badan harikmau itu, tiba-tiba mengaum seekor harimau dari belakangnya. Begitu suaranya terdengar, langsung harimau tersebut menyerangnya dengan mulut  mengangga .

Bujang Tigo langsung mengambil langkah empat. Dia melompat ke punggung harimau tersebut. Ketika harimau itu mencoba berlari menuju punggung Imran, sebuah sepak kaki kiri Bujang Tigo langsung menyambar pinggang harimau tersebut. Binatang buas yang ganas itu meraung.

Ketika harimau itu berputar-putar di sekeliling harimau yang sudah mati, Imran bergegas berlari ke atas tumah. Jusni, Ibu dan pardi langsung meraung-raung memegang tubuh Imran yang sedang menggigil. Sementara Bujang Tigo tetap saja berkelahi dengan harimau yang berbadan panjang dan berbulu rimbun itu.

Kadang-kadang harimau itu yang tercampak oleh kaki Bujang Tigo. Namun kadang Bujang Tigo pula yang tersungkur terkena terjangan badan harimau itu.

Kini, ketika Bujang Tigo terdesak ke sebatang pohon sungkai oleh serangan harimau, barulah dia meninju punggung harimau tersebut.

Begitu tinjunya mengena, langsung harimau itu merajang dan melambung-lambungkan badannya. Ekor harimau itu langsung rebah dan bersembunyi diperutnya.

Hanya berselang sekitar tiga menit kemudian, harimau itu menghembuskan nafas terakhir, dengan tubuh bersimbah darah yang keluar dari mulut, telinga, hidung dan matanya.

Bujang Tigo berdiri dengan nafas sedikit sesak. Dia menghirup dan menghembuskan nafasnya panjang-panjang. Darah di dadanya berdebar-debar. Jemari tangannya ia kelapkan keduanya. Dia meludahkan air ludahnya beberapa kali ke tanah.

Setelah dia lihat dengan teliti, ternyata memang tak lagi bernyawa binatang menakutkan itu, keduanya sekarang telah terbujur kaku.

Bujang Tigo tak berani lagi memanggil Imran dan Pardi. Dia khawatir kalau terjadi lagi seperti peristiwa barusan. Begitu Imran datang ternyata datang lagi seekor harimau.

Sambil berdiri, kini Bujang Tigo mengambil lidi kelapa hijau muda dari pinggangna. Dia mengayunkan lidi itu beberapa kali ke seluruh arah.

Begitu selesai dia mengayunkan lidi itu, hiruk pikuk binatang kera dan simpai di hutan sana. Mereka seperti ketakutan. Siamang pun turut meraung dan berlari dari dahan kayu yang satu ke dahan kayu lainnya.

Beberapa saat kemudian, mengaumlah harimau sebanyak-banyaknya di sekeliling ladang tersebut. Raungnya benar-benar menghingar-bingarkan hutan belantara itu.

Tiada lama antaranya, suara itu hening. Tak satupun lagi kini suara binatang yang kedengaran. Yang terdengar oleh Bujang Tigo kini, suara tangis Imran dan Pardi di rumah. Mereka khawatir, kalau Bujang Tigo yang sudah mati oleh harimau yang hiruk pikuk barusan.

Kini Bujang Tigo berdiri dengan kedua tangannya ia rapatkan di dadanya. Setelah itu dia seperti hormat ke sekeliling hutan sana. Kemudian ia berdiri lagi.

“ Hai  harimau yang ada di hutan ini. Janganlah kalian marah padaku. Aku membunuh teman, anak atau mungkin juga orang tua kalian ini, semata-mata hanya untuk membela diri. Mereka berdua telah punya niat tidak baik kepada aku. Mereka ingin menerkam aku. Untuk itu, kalian relakanlah kepergian mereka, karena kepergian teman kalian yang berdua ini, karena kesalahannya sendiri. Aku tidak bersalah, karena aku tidak pernah menganiaya mereka pada mulanya. Aku yakin, bahwa kalian mengerti kata hati kecil aku. Kini aku akan menyelamatkan kedua harimau ini. Aku akan menguburkannya sebaik mungkin “, tutur Bujang Tigo dengan suara yang amat keras.

Bulu roma Ibu Nurani, Jusni, Imran dan Pardi berdiri mendengar suara Bujang Tigo itu. Mereka yang berada di rumah amat takut dengan kejadian ini.

Sehabis mengucapkan kata-kata itu, Bujang Tigo berjalan ke arah rumah. Sesampai di rumah, dia mengambil cangkul yang tertidur di bawah rumah,

“ Untuk apa cangkul itu kak ?’, tanya Jusni penuh ketakutan dari pintu. Ketika Bujang Tigo menyandang cangkul itu menuju ke arah dua ekor harimau yang sudah mati tadi.

“ Untuk menggali kuburan harimau itu. Mereka harus kita selamatkan. Kalau tidak, teman-teman, sanak famili, orang tua atau anak-anak mereka bisa marah nanti. Kita kan tinggak di negri mereka. Kalau Ibu, kamu, pardi dan Imran tidak takut, bantulah aku. Lebih cepat kedua harimau ini terkubur, lebih baik. Jangan sampai malam nanti  kita menguburkannya “, kata Bujang Tigo.

“ Baik. Kami akan membantu. Kan tak ada lagi harimau lain yang marah, kak ?:, tanya Jusni sambil berdiri denga hati masih was-was.

“ Tidak. Tidak ada lagi harimau yang marah. Tadi kan sudah aku jelaskan “, kata Bujang Tigo sembari menyandang cangkul menuju ke dua harimau itu.

Sesampai di dekat harimau itu, Bujang Tigo langsung menggali kuburan untuk kedua harimau itu. Rencananya, kedua harimau itu langsung saja ia kuburkan dalam satu pusara.

Pendekar Gunung SangkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang