13

360 18 0
                                    

Setelah beberapa hari perjalanan, suatu hari, sekitar pukul lima sore, dia mendengar kokok ayam. Dia turuti arah kokok ayam tersebut.

Lelaki itu memperkirakan, kokok ayam itu memberi pertanda bagwa dia telah dekat ke kampung orang. Pendekar Gunung Sangku ingin cepat kesana. Dia akan makan nasi kalau nanti ada orang yang mengasihinya, sebab telah cukup lama ia tak makan.

Makin lama kian dekat juga dia ke arah kokok ayam tersebut. Dan setelah semakin dekat, rupanya kokok ayam itu bukanlah berasal dari perkampungan manusia, tetapi ladang padi orang.

Dari kejauhan dia melihat ada sebuah rumah ladang yang tinggi, bertonggak empat, berdinding pelupuh dan beratap daun langkok.

Dia berjalan ke arah itu. Dia berjalan disela-sela rumpun padi ladang yang sedang masak tersebut. Sesampai di dekat rumah ladang itu, dia bersorak. Penghuni rumah tersebut terkejut. Seorang lelaki turun dengan sebuah parang seperti siap menghadangnya.

"Aku manusia Pak. Aku orang baik-baik. Aku ingin bertanya, masihkah jauh perkampungan dari sini", kata Pendekar Gunung Sangku dari kejauhan.

" Ooo..silahkan kesini. Kesinilah..!, ajak lelaki itu sembari berdiri di jenjang kayu rumahnya yang jumlah anak tangganya dua belas itu. Dia rebahkan mata parangnya kembali.

Istri lelaki itupun mengajaknya naik. Dua orang anaknya yang masih kecil, dan seorang sudah gadis, tampak agak ketakutan melihat Pendekar Gunung Sangku yang hitam, berjambang dan berambut sedikit agak panjang ini. Maklum selama di hutan tak lagi terurus badannya.

Sesampai dirumah, istri lelaki itu menghidangkan ubi jala rebus dengan kopi panas. Dia meminta pendekar ini makan ubi dan minum air tersebut. Lelaki ini mengganggukan kepala.

Tak lama dia meminum air kopi manis ini sedikit. Dan aduhai..terasa kuat kembali tubuhnya yang sudah sekian lama lemas

Selanjutnya dia makan ubi rebus itu sabu buah. Kalaulah tidak karena malu, ingin rasanya dia memamah seluruhnya karena saking lapar.

Beberapa saat kemudian, terhidang pula nasi. Mereka makan bersama dengan sambal rebus terung, cabe rawit giling dan uwok daun ubi.

" Jangan malu-malu makan. Kami memang hanya punya sambal beginilah. Maklum orang di ladang. Kalau nasi, bolehlah. Kami baru dua hari ini mulai menuai padi ", ujar lelaki pemilik rumah itu sambil menyuap nasi.

Sebagai orang kampung, memang tak pernah ada kesan curiga dari pemilik rumah itu, baik yang lelaki maupun yang perempuan kepada Pendekar Gunung Sangku.

Selesai makan, nampak wajah Pendekar Gunung Sangku semakin berminyak. Maklum sudah beberapa hari lamanya, baru kali ini dia mengenyam rasa nasi.

Kalaulah tidak karena peladang padi itu ada anak gadis pula, rasanya Pendekar Gunung sangku mau menghabiskan nasi yang terhidang itu seluruhnya.

Tapi seperti kata pepatah, bagaimanapun laparnya perut, yang adat raja dibawakan juga. Dia tak mau disebutkan orang yang tak tahu adat.

Karenanya, sebelum orang di rumah itu berhenti makan, dia duluan mencuci tangan., sembari minta permisi mencuci tangan terlebih dahulu.

"Jangan malu-malu. Silahkan makan. Beras kita tak membeli, sambal bisa diambil di ladang ", ujar Bapak pemilik ladang tersebut sembari menyuap nasinya lahap sekali.

Pendekar Gunung Sangku mengucapkan terima kasih. Dia amat terharu dengan basa basi pemilik rumah ini. Dia pertama tadi mengira, orang punya ladang itu akan curiga kepadanya, dan akan mengira dia seorang lelaki pemaling yang kesasaran.

Rupanya peladang itu tak berhati demikian. Dia hanya menerima saja dengan senang hati. Bahkan dia tampak gembira menerima kedatangannya.

" Kamu silahkan di sini saja tidur. Biar kita bersempit-sempit. Atau kalau malas bersama-sama di sini, di sana ada pondok kecil penghalau burung. Kamu bisa di sana nanti malam ", kata lelaki pak peladang  ini begitu selesai makan, sembari menanyakan siapa namanya dan dari mana asalnya.

Pendekar Gunung SangkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang