5

486 17 0
                                    

“ Tunggu..tunggu ! Ibu sedang sembahyang subuh. Kamu kok sekali ini amat pagi bangun. Biasanya tak sesubuh ini kamu pulang”, kata ibu Nurana, orang tua Tiang Bungkuk dari dalam.

Seiring dengan suara wanita itu, kakinya terdengar berdetak-detak tercecah ke lantai rumah yang terbuat dari papan yang sudah tua tersebut.

“ Nasi sudah masak, makanlah dulu, masih gelap dalam hutan, mengapa sepagi ini kamu pergi ke hutan. Ibu khawatir kamu nanti mendapat rintangan di hutan. Apalagi kamu pergi sendirian “, kata Ibu Nurana menasehati anaknya.

“ Nggak apa-apa Bu. Kemaren aku menemukan serumpun rotan Bu, lokasinya jauh di kaki Gunung Sangku sana. Nanti kalau dapat bisa membeli beras banyak”, jelas Tiang Bungkuk sembari melangkah ke dalam rumah.

Wnita itu tampak gembira, kendati dibalik kegembiraannya itu tersimpan semacam keharuan melihat semangat anaknya yang demikian kuat dan hati anaknya yang demikian ikhlas mengabdikan dirinya kepada ibunya.

Akan tetapi yang menggelikan Ibu Nurana tidak tahu bahwa anaknya hari ini ke hutan bukan mengambil rotan, tetapi menemui kakek tua yang kemarin berlaga dengan nya di Gunung Tangah.

“ Makanlah dulu, nanti setelah makan, kamu bawa nasi bungkus. Biar di hutan tidak kelaparan, kalau kelaparan kamu bisa-bisa didapatkan hantu lapar rimba, kalau kamu dapat oleh hantu lapar kamu tak bisa bergerak dan hanya bisa saja tidur di hutan sana. Hutan Gunung Tangah itu banyak penghuninya, kamu harus hati-hati “.

Pagi sekali Tiang Bungkuk telah bangun. Dia bergegas ke sungai membasuh muka. Tak mandi lelaki itu. Belum ada orang ditemui ditepian.

Ketika akan melangkah dari bibir sungai hendak pulang menuju rumah orang tuanya, dia dikejutkan Pak Rasid yang sedang melangkah dari rumahnya menuju sampan dengan menjinjing pendayung di tangan kanan dan timba di tangan kiri serta dua buah galah terbuat dari bambu di bahunya.

Kok sesubuh ini kamu membasuh muka Tiang ?, tak biasanya aku melihat kamu bangun pagi-pagi begini “. Ujar Pak Rasid sembari naik ke sampannya untuk menimba air yang mengenang di dalamnya.

“ Aku pagi ini akan kerimba mencari roran. Kemaren aku ada temukan rotan serumpun, karena hari sudah sore, tak jadi aku ambil, rencanya hari ini aku akan ambil. Tempatnya jauh. Tuh persis di kaki Gunung Sangku sana. Pak Rasid mau membangkit jaring ikan pagi ini ya “, katanya sambil mengeringkan wajahnya dengan kain sarung.

Sambil mengangguk kepala pak Rasid tetap juga menimba air dari sampannya, setelah airnya kering, dia membuka pautan sampannya pada sebuah pohon cempedak.

Kemudian lelaki itu mendayung sampannya ke arah hilir sungai, tempat penahanan jaring semalam. Sekitar 300 meter dari tepian tersebut ke arah hilir sungai. Tepatnya persis di seberang Batu Terbalik.

Begitu sampan Pak rasid menghilang dari penglihatan Tiang  Bungkuk, lelaki itu melangkah keluar menuju rumah orang tuanya, dalam langkah-langkah subuh itu, selalu terbayang olehnya kejadian semalam.

Kadang dia merasa bermimpi, dan kadang-kadng merasa benar-benar ketiban suatu keberuntungan yang tak ternilai harganya. Mengapa tidak, sekarang dia memiliki ilmu yang benar-benar dapat diandalkan.

Kini dia yakin  nian bahwa tak ada lagi ilmu yang disembunyikan Engku Kabanaran kepadanya. Kini semua ilmu Engku Kabanaran telah ia salin habis. Bahkan tak hanya sekedar ilmu Engku Kabanaran. Ilmu dari berbagai pihak yang sifatnya tak bisa terlihatpun telah ia dapatkan.

Pagi ini ia sengaja ke kaki Gunung Tangah, ketempat yang dia alami kemaren. Dia akan kembali mengajak pak tua berjenggot putih kemaren itu berkelahi.

Segala ilmu yang ia dapatkan akan dikerahkan untuk melawan lelaki berjenggot putih itu. Dia tak akan mengalah kendatipun akan mati.

Dia akan kembali melihat wajah gadis manis berbaju kuning berambut panjang yang berwajah aduhai kemaren. Dia akan kembali menatap wajah cucu kakek tersebut.

Pendekar Gunung SangkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang