Pagi-pagi nian Tiang Bungkuk sudah bangun. Sebelum Engku Kabanaran dan Emak Nurdia bangun, Tiang Bungkuk telah bergegas turun dari rumah itu.
Dia bergegas pergi ke tepian membasuh muka. Lelaki itu sengaja tak mandi pagi ini. Dia hanya membasuh muka saja ketepian.
"Kok sepagi ini kamu bangun, Tiang. Tak biasanya kamu bangun sepagi ini", kata Pak Rasid yang berjalan dari rumahnya ke tepian membawa pendayung, galah dan timba air penimba air sampannya.
"Aku pagi ini mau kehutan maraton, aku ingin pergi pagi sekali. Kemarin aku ketemu serumpun rotan yang amat banyak batangnya. Aku temui di kaki Gunung Sangku", jawab Tiang Bungkuk sambil mencuci muka.
Kemudian Tiang Bungkuk mengeringkan wajahnya dengan kain sarung yang dari tadi menyelimuti sebagian badannya. Ia hapus wajahnya dengan kain sarungnya hingga kering.
Pak Rasid menaiki sampannya. Kemudian dia menimba air yang mengenang di sampan kecil itu setelah meletakkan sebuah galah terbuat dari bambu dan pendayung.
Sehabis menimba air dari sampannya, Pak Rasid minta tolong membuka ikatan tali sampannya yang terpaut di sebatang pohon pauh tak jauh dari tebing pelabuhan sampan tersebut kepada Tiang Bungkuk.
Tiang Bungkuk membuka ikatan sampan tersebut, begitu tali sampan terbuka Pak Rasid mendayung sampannya arah ke tengah. Dia akan melihat pukatnya yang semalam ia tahan disungai arah ke hilir kampung Sungai Penuh.
Tiang Bungkuk berhenti beberapa saat, menyaksikan Pak Rasid mendayung sampanya arah kehilir sungai yang tenang dan jernih itu.
Setelah hilang punggung lelaki itu. Tiang Bungkuk melangkah kedarat. Dia berjalan menuju rumah ibunya yang berjarak sekitar seratus meter dari tepian mandi ini.
"Ibu...bu..buka pintunya bu !. Aku pulang. Apa ibu belum bangun ? ", kata Tiang Bungkuk sembari mengetuk-ngetuk daun pintu rumah ibunya yang terbuat dari kulit kayu tarok.
Tiang Bungkuk mengira ibunya belum bangun. Karena hari masih pagi. Baru sekitar pukul 05.30 WIB. Masih subuh. Masih belum terlalu terang dikampung kecil itu. Maklum, banyak dedaunan kayu rimba yang menghalangi sinar mentari masuk ke kampung Sungai Penuh.
Burung-burungpun belum lagi beterbangan. Suara burung kekek belum lagi terdengar bernyanyi sepulang dari tempat pemalamannya. Ayam belum lagi banyak yang keluar dari kandangnya.
"Tunggu..! tunggu ...!, aku sudah bangun. Tadi aku sholat. Kok sepagi ini kamu pulang. Begini kan masih subuh", ujar ibu Nurana, ibu Tiang Bungkuk dari dalam rumahnya menyahuti suara Tiang Bungkuk.
Tak lama terdengar suara telapak kaki menginjak lantai papan tua rumah itu dari dalam. Kemudian daun pintu berderik, setelah sentung daun pintu itu berdetak dibuka ibu Nurana.
Ibu Nurana membuka daun pintu dengan mukena masih membalut badannya. Lampu minyak tanah terbuat dari kaleng susu dilobangi dan diberi sumbu kain buruk, masih menyala ditengah rumah buruk dan kecil itu.
Tiang Bungkuk melangkah masuk. Kakinya terdengar berdebam – debum berjalan di atas lantai beralaskan tikar rotan sago yang sudah usang itu.
"Aku ingin hari ini lebih pagi kerimba bu, kemaren aku menemukan serumpun rotan di dekat kaki Gunung Tangah sana, bu ", kata Tiang Bungkuk pada ibunya.
"Baiklah. Tapi kamu harus hati-hati dihutan itu. Hutan Gunung Tangah sampai ke Gunung Sangku itu banyak penghuninya. Kadang orang bisa sesat dan tak tahu jalan pulang di sana. Ada malah dulu ketika ibu masih gadis, orang mencari kayu manis tersesat di kaki Gunung sangku itu. Masyarakat kampung ini telah berusaha mencarinya dengan membunyikan talempong dan bersama-sama kesana. Berbagai dukun sudah dikerahkan. Tapi tak bertemu juga. Kemudian setelah tiga hari tiga malam, dia kembali sendirian. Namun sesampai dirumah, tak lama kemudian ingatannya berubah. Badannya panas. Dia membawa kasur dan bantal ke halaman yang katanya dia berenang dengan kasur dan bantal itu di halaman. Dia merasa halaman rumahnya itu lautan luas yang berombak besar. Setelah tiga bulan berobat dengan seorang dukun barulah dia sehat kembali seperti biasa. Dukun itu bernama Engku Rasidin. Telah meninggal dunia ketika kamu berumur tiga tahun. Dia tak punya anak. Istrinyapun sudah meninggal setahun setelah dia mati", kata Ibu Nurana.

KAMU SEDANG MEMBACA
Pendekar Gunung Sangku
ActionKisah dari Ranah Minang Tentang Pendekar Silat,Dendam,Kematian Dan Drama Cinta