Hari yang sehari itu seakan tak ada artinya sama sekali. Karena, keluarga peladang itu hanya istirahat saja. Pak Tian sengaja hanya membuat pengumpul padi di sawah rumahnya.
Dan setelah beberapa saat lamanya di pondok bersama Bunga, dia kembali ke rumah. Setelah Bunga menghilang kembali ke Gunung Sangku. Selanjutnya Pendekar Gunung Sangku membantu Pak Tian membuat tempat pengumpul padi yang di sana disebut bake padi tersebut. Selama beberapa hari ini dia menuai, hasil tuaiannya diletakan saja di atas tikar pandan di bawah rumah tersebut.
Begitu sore tiba, mereka berdua berhenti bekerja. Dan pembuatan bake padi itupun selesai. Maklum, hanya kecil, persis sebesar separoh luas bawah rumah itu saja.
" Kalau tak muat nanti kita perbesar lagi ", kata Pak Tian kepada Pendekar Gunung Sangku.
Mungkin karena sudah biasa hidup dalam hutan. Makanya, suasana harimau tadi seakan telah lipur saja dari ingatan mereka semua. Buktinya sore hari ini mereka mandi ke sungai kecil di pinggir ladang itu tanpa merasa takut.
Pardi dan Imran kembali menahan tikalak, semacam alat penangkap ikan terbuat dari bambu berjalin yang di belah kecil-kecil, yang ditahan di tempatg yang deras, dengan terlebih dahulu mengempang aliran sungai tersebut.
Namun malam harinya, Pendekar Gunung Sangku tak dibiarkan Pak Tian tidur di pondok , makanya malam ini dia tidur saja di rumah.
Biasanya pagi-pagi sekali Imran dan Pardi akan bergegas bangun dan membangkit tikalaknya yang biasanya akan berisi bermacam-macam ikan sungai.
Dua lelaki kecil itu akan berlari-lari kecil disela-sela rumpun padi menuju rumahnya membawa ikan dan tikalak. Sesampai di halaman mereka akan memanggil-manggil ibunya, mengatakan bahwa tikalaknya dapat ikan semalam.
Pagi ini, kejadian itupun terulang lagi. Bedanya kini Pardi dan Imran ditemani Pendekar Gunung Sangku. Begitu tikalaknya diangkat oleh Pardi, dia berjingkrak-jingkrak kegirangan, karena tikalaknya mendapatkan tiga ekor ikan catur, dua ikan baung, seekor ikan garing dan seekor ikan situka.
Mereka amat senang karena benar-benar memperoleh rezki yang banyak. Pendekar Gunung Sangku turut senang melihat kedua anak2 tersebut kegirangan. Pendekar Gunung Sangku teringat masa kecilnya, betapa girangnya kala jaring yang ia pasang di Sungai Penuh semalaman, paginya kala diangkat sudah berisi ikan-ikan yang lumayan banyak dan beraneka jenis ikan.
Dalam hati Pendekar Gunung Sangku seakan berkata, bahwa masa kecil memang amat indah, masa kecil adalah masa yang amat berkesan bagiku.
Dimasa kecil itulah seseorang merasa amat akrab dengan kedua orang tua, dengan sanak famili. Kala itu masih bisa tidur bersama, makanpun bersama, bahkan kala mau tidur bisa bermanja-manja minta dikeloni orangtua.
Setelah dewasa, masa itupun ikut berlalu dengan datangnya masa-masa yang getir, yang pahit dan yang amat menyakitkan, apalagi setelah kepergian kedua orang tua dipanggil Yang Maha Kuasa.
Ketika kedua adik angkatnya itu berlari pulang membawa ikan yang masih dalam tikalak, Pendekar Gunung Sangku tinggal sendirian di sungai. Dia membasuh muka dengan perasaan yang entah berada di alam mana.
Saat itulah kerinduan yang teramat dalam dirasakan Pendekar Gunung Sangku pada ayah dan ibunya,pada masa kecilnya dan pada kampung halamannya. Kerinduan yang terasa menyesakan dadanya.
" Keratau sekali ini entah mendulang entah tidak. Entah membeli cawan dan pinggan. Kerantau sekali ini entah akan pulang entah tidak, entah mungkin akan mati ditengah jalan ", tuturnya bergumam sembari membasuh muka dengan air sungai yang jernih dan bening itu.
" Sungguh kurang ajar engkau Pendekar Kusin, teganya kamu membunuh ibuku padahal aku tak pernah berbuat jahat padamu ", tutur Pendekar Gunung Sangku membathin dengan geram.

KAMU SEDANG MEMBACA
Pendekar Gunung Sangku
AksiKisah dari Ranah Minang Tentang Pendekar Silat,Dendam,Kematian Dan Drama Cinta