23

441 12 2
                                    

Hari-hari Imran dan pardi dia sibukkan dengan belajar silat dan ilmu kebathinan. Setiap malam tiba, mereka berguru silat di halaman rumah ladang Ibu Nurani.

Ibu Nurani selalu setia menemani anak-anaknya belajar silat setiap malam. Mereka belajar silat setiap malam dari Sabtu malam hingga Minggu malam, kecuali Kamis malam. Pada Kamis malam itu mereka belajar ilmu kebatinan.

Sampai saat ini, sudah hampir setahun dua kakak beradik Imran dan Pardi berguru kepada Bujang Tigo secara tekun. Siang mereka ke ladang, malam mereka berguru.

Malam ini, adalah petang Kamis malam Jum'at. Entah apa sebabnya, mata Bujang Tigo terasa amat kantuk. Dia meminta kepada Imran dan Pardi agar malam ini istirahat belajar ilmu kebathinan. Dia ingin tidur lebih awal. Badannya terasa amat lelah. Imran dan Pardi menuruti saja.

" Kalian tidak marah kan ? Kakak sungguh sangat mengantuk rasanya malam ini ", kata Bujang Tigo kepada Imran dan Pardi.

" Tidak. Tidak kak ", jawab Imran.

Malam itu, begitu sunyi tiba dan dingin memasuki rumah ladang Ibu Nurani, setelah Imran, Pardi dan Ibu Nurani tertidur bersama Bujang Tigo, tiba-tiba Bujang Tigo bagaikan dibangunkan seseorang.

Dia mendengar ada seseorang yang membangunkannya dari luar rumah. Bujang Tigo terbangun dalam kelamnya malam di rumah yang tidak memakai lampu tidur itu.

" Pendekar, pendekar, bangunlah kamu ..! aku adalah orang yang ingin memberikan kabar baik kepadamu malam ini. Kalau untung, dengan kabar yang aku bawa ini, rentetan penderitaan yang kalian alami berempat selama ini akan berakhir", kata suara itu.

Ketika Bujang Tigo duduk, dia diam. Kemudian suara itu kembali berulang. Kadang suara itu berada di atas bubungan atap, kadang ditangga rumah dan kadang di halaman.

" Tidaklah perlu kamu sangsikan, karena aku bukanlah musuhmu. Aku adalah anak Kakek Sami'un dari kaki Gunung Tangah. Beliaulah yang menyuruh sampaikan pesan ini kepadamu. Beliau adalah sangat menyayangi dan mengagumimu, karena prinsipmu yang demikian teguh dan hatimu yang demikian jujur. Turunlah kamu ke halaman. Ada sesuatu yang akan aku berikan kepadamu malam ini juga. Sekali lagi, aku bukanlah musuhmu ", kata suara itu.

Setelah dipertimbangkan beberapa saat lamanya, dan setelah yakin benar dia bahwa yang bersuara itu bukanlah musuhnya, begitu dia lihat secara lahir maupun bathin, Bujang Tigo yang dipanggil suara itu tadi dengan panggilan pendekar, turun ke halaman.

Dia melangkah dengan kaki gemetar, setelah membuka daun pintu lambat-lambat. Dia turun dengan celana hitam dan baju kaos putih dan kepala diikatnya dengan kain sarung yang tadi menyelimuti tubuhnya.

Begitu sampai di halaman, berkata lagi suara itu di dekatnya. Tetapi sama sekali tidak dilihatnya tubuh yang berbicarta tersebut.

" Begini pendekar. Menurut kakek, kematian Jusni adalah sudah kehendak Allah. Suratan tangannyalah yang membuatnya demikian. Karenanya, kamu tidaklah baik kalau selalu berhati gundah gulana, berhati sedih setiap waktu. Demi untuk menguatkan kembali jiwamu yang telah demikian rapuh, yang telah lemah oleh kematian seseorang yang amat kamu cintai, kakek meminta agar kamu menikah dengan Bunga", kata suara itu.

Ketika suara itu akan memulai kembali perkataannya, cepat-cepat Bujang Tigo mengatakan bahwa tidak akan mungkin hal itu ia lakukan.

" Aku mencintaimu Bunga dan aku telah berhutang budi amat banyak kepada Bunga. Tetapi kalau aku menikahi Bunga hanya karena demi untuk menghilangkan rasa cintaku kepada Jusni, tidak mungkin. Sungguh sangat tidak mungkin hal itu aku lakukan ", kata Bujang Tigo memperbincangkan masalah penggantinya.

" Tidak, tidak mungkin itu aku lakukan. Aku tidak mau menjadi pengkhianat  cinta ", kata Bujang Tigo, ketika suara itu akan memulai perkataannya kembali.

Pendekar Gunung SangkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang