22

245 9 0
                                    

Walaupun kini sudah beberapa bulan kematian Jusni berlalu, namun Ibu Nurani, Imran dan Pardi serta Bujang Tigo belum juga pernah bekerja di ladang.

Apa yang terjadi pada diri Bujang Tigo pada malam semalam Jusni meninggal dulu, setentang perkelahiannya dengan Pendekar Sanguk beserta murid-muridnya di Batang Pudau, yang hampir saja menewaskan Bujang Tigo, baik Ibu Nurani, Imran maupun Pardi tidak pernah tahu.

Mereka sehari-harinya hanya asyik di rumah. Air mata diantara mereka belum juga teduh. Sambil ke sungai pergi mandi, mereka menangis juga.

" Entahlah, lunak rasanya bumi ini aku injak. Inilah rupanya racun dunia. Tidak pernah aku membayangkan bahwa hal ini akan aku alami selama ini. Kalaulah aku tahu akan begini jadinya, dari dahulu aku tidak akan menikah. Sebab kalau menikah, aku takut akan kehilangan anakku. Aku tak kuat menerima kenyataan ini ", tutur Ibu Nurani setiap pergi mandi ke sungai.

Kemana saja dia pergi, serasa ada Jusni di sana. Pergi dia ke sungai, serasa ada Jusni di sana sedang menyandang tagik. Pergi dia ke belakang rumah mengambil sayur daun ubi, serasa telah berdiri pula Jusni di sana dalam angannya. Kemana saja dia melangkah, serasa Jusni telah ada di depannya.

Ratap tangis dan nama Jusni dia ucapkan juga setiap berada di pusara Jusni. Ibu Nurani sering berbicara sendirian di kuburan anaknya itu, Bahkan sering kali Ibu Nurani tidur sendirian di atas kuburan anaknya, Jusni.

Biasanya kalau tidur di kuburan Jusni, Ibu Nurani tidak akan  mau beranjak dari atas tanah badannya, kalau tidak dibawa Pardi, Imran atau Bujang Tigo pulang ke rumah.

Suatu malam, ketika bulan menerangi ladang Ibu Nurani, disamping cahaya bintang gemerlapan di langit tinggi, Bujang Tigo berbicara kepada Ibu Nurani.

Menurut Bujang Tigo, kalau begini saja mereka setiap hari, dia khawatir mereka akan dimabuk bayang-bayang nanti. Dia khawatir kalau kelak mereka akan menjadi orang yang  nyanyuk, yang sehari-hari kerjanya hanya menangis, meratapi nasib dan mengeluh.

Karena itu, Bujang Tigo berpendapat, lebih baik mereka berupaya sekuat tenaga dan keimanan yang ada di dadanya masing-masing untuk bangkit, bersemangat kembali dengan tidak berarti melupakan Jusni dan pak Tian.

Ada baiknya kata Bujang Tigo kalau mereka kembali ke ladang. Bekerja lagi seperti Pak Tian dan Jusni yang hidup tempo hari. Menurut Bujang Tigo, kalau begini terus menerus, besar kemungkinan arwah Pak Tian dan Jusni akan marah nanti.

Jusni dan Pak Tian tak akan senang melihat orang-orang yang mereka sayangi semasa hidupnya, selalu bermenung, selalu menyesali diri, meratap dan berurai air mata.

" Kita harus bersemangat lagi, bu. Kita harus berbuat sesuatu. Aku bertekad, bu. Aku bertekad untuk menuntut balas. Aku ingin menjadikan masyarakat di Batang Pudau aman dari tindakan sewenang-wenang yang dilakukan perguruan pendekar Sanguik selama ini. Ini aku rasa lebik baik daripada kita merenungkan nasib tanpa tahu ujung dan pangkalnya ", tutur Bujang Tigo.

Ibu Nurani tidak menjawab. Dia hanya menekurkan kepalanya. Rambutnya tergerai menutup wajahnya yang sudah lusuh dan kusam karena setiap hari menangis.

" Menurutku, kita memang harus menuntut balas. Kita tak bisa diam saja. Tuhan akan melindungi kita, karena kita menuntut balas, bukan menganiaya orang yang tidak berbuat apa-apa", tutur Imran.

Ibu Nurani masih saja diam. Pardi pun demikian. Ketika Bujang Tigo melihat dengan sudut matanya ke arah Pardi, dia terenyuh melihat air mata telah mengalir pula dari sudut mata lelaki itu ke pipinya,

" Menuntut balas tentu boleh saja, tetapi bagaimana kalian akan bisa melakukan hal itu. Kalian harus sadar bahwa murid-murid Pendekar Sanguik itu bukan main kejam-kejamnya. Semasa hidup Pendekar Kusin dulu, untuk kalian ketahui, tidak ada seorang pun orang di Batang Pudau yang mereka takuti. Kalau ada seseorang yang mencoba-coba menentang mereka, kalau mereka ketahui malam, tidak akan sampai nyawanya pagi, dan bila mereka ketahui pagi, tidak akan sampai nyawanya sore. Kini, kalian pula yang akan menuntut balas kepada mereka. Urungkan sajalah niat kalian itu. Bahkan menurutku, lebih baik kita buat lagi ladang yang jauh di hutan sana, supaya kelompok perguruan pendekar Sanguik itu tidak tahu. Sebab kalau mereka tahu tempat kita, mereka akan tetap juga mengincar untuk membunuh ", kata Ibu Nurani .

Pendekar Gunung SangkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang