16

395 12 0
                                    

" Kok demikian cepat kamu bekerjanya ?",  tanya Ibu Nurani kepada Bujang Tigo, ketika Bujang Tigo naik ke rumah dan mengatakan bahwa kuburan sudah selesai digali.

" Aku dibantu Imran dan Pardi ", jawabnya singkat.

Selanjutnya, Ibu Nurani menganjurkan kepada Bujang Tigo, agar untuk kafan Pak Tian, diambil tikar yang masih baru. Sebab kain putih tidak ada. Kain selimut pun mereka tidak punya.

Kembali mata Bujang tigo tengadah, mendengar ucapan Ibu Nurani barusan. Dalam hati Bujang Tigo seakan berkata, sungguh Allah dalam menguji umatnya, benar-benar menguji.

Ketika Bujang Tigo sedang tercenung tersebut, tiba pula Bunga di dekatnya, sambil mengatakan bahwa Bujang Tigo tak perlu khawatir dengan kain kafan. Dia akan menyuruh orangnya mencarikan.

Bujang Tigo mengangguk. Wajahnya kembali sedikit tenang. Sebab, kalau sempat dikafani dengan tikar, sungguh terasa amat menyedihkan.

Terbayang oleh Bujang Tigo, mendiang ibunya, gurunya mendiang Engku Kabanaran dan istri beliau, Ibu Nurdia, yang meninggal oleh kesadisan para pendekar di bawah perguruan yang dipimpin Pendekar Kusin, yang setelah pendekar Kusin meninggal, kini berganti nama dengan perguruan Pendekar sanguik.

Kini, sebelum mayat Pak Tian di bawa ke sungai oleh Bujang Tigo, dia pergi ke pondoknya. Dipondok itulah dia menemui seseorang yang telah cukup lama tidak dia temukan. Yaitu, kakek Bunga yang telah amat berjasa kepadanya dulu, yang bernama kakek Sami'un.

" Aduh kek. Sudah sangat rindu aku kepada kakek. Selama ini, aku tak mampu menemui kakek ke Gunung Sangku, karena aku telah mengembara sampai ke hutan ini, semenjak ibu dan guruku meninggal dalam sebuah perkelahian dengan kelompok perguruan Pendekar Kusin yang juga meninggal dalam perkelahian itu. Apa kabar kek. Apa kakek ada sehat-sehat saja ?", ujar Bujang Tigo sembari mengambil kedua tangan kakek berjenggot putih itu dan menciumnya dengan penuh hormat.

Sambil tersenyum dengan senyumnya yang khas, kakek itu berkata ," kamu kan sudah lupa dengan kakek. Kakek ke sini, ingin melihat bapak angkatmu yang baru saja semalam meninggal dunia. Ini kain kafan untuknya, silahkan kamu ambil ", tutur situa itu.

Tangan laki-laki yang sudah berganti nama dengan Bujang Tigo itu menggigil mengambil kain itu. Dia merasa bersalah, karena memang tak pernah selama ini menemuinya lagi.

Yang amat memalukan bagi Bujang Tigo, tak pernah dia menanyakan kakek itu kepada Bunga selama ini. Dia merasa benar-benar orang yang tak pandai berterima kasih.

Dia semakin merasa bersalah, setelah dia sadari bahwa tak pernah bercerita kepada lelaki tua itu, bahwa namanya sudah berganti dari Pendekar Gunung Sangku yang diberikan  kakek itu dulu, kepada Bujang Tigo yang sekarang dia pakai.

Seharusnya, menurut hati kecil Bujang Tigo, dia harus bercerita kepada kakek Sami'un itu tadi, begitu dia baru bertemu. Wajah Bujang Tigo semakin pucat. Dia semakin merasa bersalah yang bukan kepalang tanggung.

" Aku meminta maaf kepada kakek, karena perlakuanku selama ini. Aku tak pernah menemui kakek lagi. Aku bagaikan kacang yang sudah lupa dengan kulitnya. Aku orang yang tak pandai membalas budi ", kata Bujang Tigo.

Selanjutnya dia mengatakan, bahwa namanya sudah dia ganti dengan Bujang Tigo. Dia terangkan pula, alasan dia mengganti nama. Yaitu, karena dia ingin membalas dendam kepada kelompok perguruan Pendekar Kusin yang kini sudah berganti nama pula dengan perguruan pendekar Sanguik.

Selanjutnya, sebelum situa itu memberi komentar, Bujang Tigo menjelas seluruh yang ia alami selama ini, semenjak dia berpisah dengan kakek Sami'un.

Bujang Tigo menceritakan pula berbagai pertemuannya dengan Bunga, dan apa-apa saja budi baik Bunga yang sudah dia nikmati secara jujur dan apa adanya.

Pendekar Gunung SangkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang