Hari semakin senja. Cahya mentari telah kian hilang kebalik perbukitan kampung Sungai Penuh yang dingin. Riak ombak Pulau tangah yang tak berapa jauh arah hilir Sungai Batang Hari yang mengalir membelah perkampungan itu, terdengar makin mendesah. Sesekali terdengar berdebum menghempas ke karang tempat kerbau kampung yang sudah menjadi batu.
Dari duduknya, Tiang Bungkuk beranjak tegak. Dia mengambil kain sarung. Selanjutnya lelaki itu minta izin pergi tidur ke rumah gurunya, Engku Kabanaran.
Dia berjalan tenang sekali. Dalam hatinya, sesekali terlintas nama Bunga gadis manis yang ia cintai, tetapi terasa amat sulit untuk diyakini.
Dia bagaikan seorang yang sedang menulis di atas pasir ditepi pantai, yang setiap tulisan selesai dibuat, ada harapan akan hilang karena dilembak air lautan yang menghempas ke tepi.
Ia bagaikan merasa bak air di daun keladi, yang tak akan pernah meninggalkan bekas, tetapi dia pasti ada, antara kepastian dengan kenyataan, terasa oleh Tiang Bungkuk amat sulit bertemunya, kendatipun dia adalah satu.
"Assalamu'alaikum..!", ujar Tiang Bungkuk dari halaman.
"Wa'alaikumsalam", jawab Engku Kabanaran dari dalam rumah.
Engku Kabanaran mempersilahkan murid kesayangannya ini naik ke rumah. Tiang Bungkukpun melangkah masuk. Sebagai tanda salam, Tiang Bungkuk langsung menerima bacokan parang tajam mengkilat dari gurunya.
Tiang Bungkuk terhempas ke pintu karena serangan dari Engku Kabanaran. Daun pintu yang sudah tua tersebut langsung terpelanting ke halaman, karena rotan pengikatnya putus menyerabut kena punggung Tiang Bungkuk.
Begitu parang hendak menyambar lehernya dia menghindar dan parang tersebut menyabet tiang rumah. Hampir saja rumah tersebut roboh senja itu.
Habis persilatan kecil itu, Tiang Bungkuk kembali memasang daun pintu. Emak Nurdia menmgambilkan air minum untuk Tiang Bungkuk yang tampak berkeringat.
Seperti biasa, Tiang Bungkuk kembali makan bersama bertiga dengan Engku Kabanaran dan Emak Nurdia sehabis sholat magrib malam itu. Sembari makan Engku Kabanaran meminta kepada Tiang Bungkuk, supaya malam itu tak bersilat tetapi membuka pengajian saja.
Namun nanti jika masih ada waktu untuk bersilat, dicoba juga agak sebentar. Kalau tidak, besok malam saja. Maklum, malam ini sebagai malam melepas cemas karena Tiang Bungkuk telah beberapa hari tak pulang.
Kini tibalah saatnya Tiang Bungkuk dan Engku Kabanaran membuka pengajian, terutama pengajian silat. Setelah direntang dan dibuka seluruhnya secara mendalam tentang pengajian silat, maka sampailah kepada apa yang dikatakan silat, untuk apa silat bagi manusia, untuk apa silat bagi dunia dan untuk apa pula bagi akhirat.
Selanjutnya mereka buka pula pengajian kebathinan lainnya secara mendalam. Sehingga setelah hari sekitar pukul tiga dini hari, pengajian dihentikan sejenak. Tiang Bungkuk merebus air untuk membuat kopi. Maklum, Emak Nurdia sudah tidur.
Di dalam pengajian tersebutlah oleh Tiang Bungkuk bagaimana dia selama berada di Gunung tangah. Dan apa yang ia dapatkan di sana.
Tanpa diketahui ternyata ada tiga orang dari sasaran silat lain, dari perkampungan Sungai Tampudau, beberapa kilometer dari Sungai Penuh, yang menguping pembicaraan Tiang Bungkuk dan Engku Kabanaran malam itu.
Ketiga orang yang melakukan pengintipan malam itu, ialah pendekar Samun, Pendekar Agui dan Dubalang kayo. Ketiganya berasal dari utusan guru silat Pendekar Kusin.
Pendekar Kusin amat terkenal di perkampungan Sungai Batang Pudau. Orangnya bagak, punya ilmu kebathinan yang amat tinggi dan tak pernah ada orang yang berani memandangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendekar Gunung Sangku
AcciónKisah dari Ranah Minang Tentang Pendekar Silat,Dendam,Kematian Dan Drama Cinta