17

227 13 0
                                    

Menjelang makan siang, sembari duduk-duduk di bawah rumah, timbul niat dari Pardi hendak belajar silat di halaman rumah tersebut. Imran pun setuju. Mereka berdua mengajak Bujang Tigo bersilat. Bujang Tigo pun setuju, sambil menunggu-nunggu waktu makan siang. Imran berdiri di ujung halaman arah utara dan Pardi diujung sebelah selatan. Kemudian keduanya menepukkan tangan sembari melangkah dengan langkah empat.

Ibu Nurani dan Jusni menyaksikan Imran dan Pardi dari rumah. Makin lama mereka semakin mendekat. Sekali-sekali tampak tangan kanan keduanya sama-sama melingkar di pinggang.

Mata keduanya amat tajam. Jusni tercengang melihat kedua adiknya yang sudah seperti pendekar itu. Bujang Tigo mengamati saja dari bawah rumah sambil duduk di sebuah dahan kayu.

Beberapa saat kemudian, Imran menghentakkan kaki kirinya. Begitu terdengar degaman kaki kirinya ke tanah, kaki kanannya langsung menghadang dada Pardi. Pardi tersurut ke belakang selangkah mengelakkan serangan Imran itu. Serangan Pardi tidak mengena, namun Imran tersungkur ke ujung halaman.

Begitu Imran tersengkur, langsung Pardi melompat ke sana. Ketika dia hendak meninju punggung Imran dan mengiringinya dengan terkam harimau hitam yang baru saja  dua malam yang lalu mereka dapatkan dari Bujang Tigo, Imran membalikan badan dan langsung disambutnya kaki Pardi yang telah hampir sampai di dadanya.

Mereka berdua berpalun-palun, bergolek dan berguling-guling dari ujung ke ujung halaman. Sesampai di sebuah tunggul kayu mati, Imran berdiri dan Pardi tersandar ke tunggul itu.

Pardi langsung mencabut tunggul kayu itu dengan mempergunakan do'a pidareh yang baru saja beberapa malam lalu diterimanya dari Bujang Tigo. Dengan do'a ini, tenaga seseorang bisa seratus kali lipat dari yang ada padanya.

Begitu tunggul itu tercabut, langsung dipukulkannya ke kepala Imran. Imran dengan sigap langsung mengelakkan badannya. Begitu badannya mengelak, kakinya langsung menyepakkan tunggul itu.

Tunggul kayu itu tercampak jauh ke tengah ladang, sementara mereka berdua kembali sama-sama membuka langkah. Mereka kembali mempermainkan sudut mata dengan liar.

" Sekarang berhentilah sejenak. Siapa yang ingat tangkap harimau campo ?", tanya Bujang Tigo.

" Aku ingat ", jawab Pardi.

" Aku juga ingat ", jawab Imran pula.

" Kalau begitu, siapa yang akan menangkap dan siapa yang akan mengelakkannya ", tanya Bujang Tigo.

" Aku yang menangkap ", jawab Pardi duluan.

" Aku yang menanti ", jawab Imran.

" Silahkan. Tapi kalian harus hati-hati ..!', kata Bujang Tigo.

Keduanya mengangguk.

Kembali keduanya membuka langkah. Kadang badan kedua anak ini merendah ke tanah, kadang meninggi. Persis bagaikan harimau yang akan menangkap mangsanya.

Begitu dilihat Pardi ada kesempatan, langsung dia melakukan tangkap harimau campo tadi. Namun begitu melihat gerak Pardi, Imran langsung bereaksi. Dia mengelakkan badan.

Serangan Pardi yang demikian kencang, Langsung membuatnya tersungkur ke anak tangga rumah. Kepala Pardi sedikit berdarah, langsung Bujang Tigo mengambil kepala Pardi. Sehabis mantera dibacakannya kepala Pardi itu, darahnya langsung berhenti.

" Sudahlah. Nanti malam disambung lagi ", ujar Bujang Tigo sambil menyuruh keduanya istirahat. Jusni bangga sekali melihat kehebatan kedua adiknya ini bersilat. Ibu Nurani juga demikian.

Hati kedua wanita itu besar sekali, karena ada harapan akan dapat menjadi pelindung baginya nanti di hutan belantara ini. Pardi naik ke rumah duluan. Selanjutnya naik pula Bujang Tigo. Imran masih berdiri di halaman. Ketika dia akan melangkah ke anak tangga pertama di rumah itu, tanpa di duga, secepat kilat berlari seekor harimau belang hitam bercampur kuning dan putih arah perbukitan ladang itu.

Ketika persis harimau itu akan menerkam Imran, Bujang Tigo langsung melompat dari anak tangga itu ke bawah. Dia langsung berhadapan dengan harimau itu. Imran dan Pardi bergegas naik ke rumah dengan wajah pucat pasi. Ibu Nurani dan Jusni langsung meraung menangis sekuat tenaganya. Bujang Tigo langsung hempas menghempaskan dengan harimau itu. Harimau tersebut mengaum-ngaum sambil menyerang Bujang Tigo. Harimau itu kadang merendah dan kadang meninggi. Taringnya yang bagaikan pisang rotan masak itu, selalu tampak karena dia menyerang Bujang Tigo sambil mengangga galak. Beberapa kali harimau itu melompat ke arah kuduk Bujang Tigo. Tetapi setiap dia melompat ke kuduk Bujang Tigo selalu terhempas kembali karena terkena tamparan tangan kanan Bujang Tigo.

Harimau itu terus saja mengaum dengan suara yang membuat perut sakit menakut-nakuti. Tanah di halaman rumah itu telah bagaikan kena cangkul oleh kuku harimau itu. Beberapa kali harimau itu menangkap badan Bujang Tigo, tak sekalipun mengenai sasaran. Namun harimau itu bagaikan tidak mengenal menyerah. Dia selalu menyerang Bujang Tigo dengan garang.

Suatu kali, harimau itu menyerang Bujang Tigo yang terdesak ke bawah tangga rumah ladang tersebut. Sambil mengaum dia langsung menangkap kaki Bujang Tigo.

Tangkapannya berhasil mencabik betis Bujang Tigo. Darah mengucur deras dari pertengahan betis Bujang Tigo. Tapi dia masih bisa berdiri dan masih tetap mampu melayani harimau itu.

" Hebat juga kamu ya harimau. Tetapi aku yakin bahwa kamu tidak akan mampu mengalahkan aku ", ujar Bujang Tigo sambil tetap melangkah dengan langkah-langkah yang membuat harimau itu terdorong ke kiri dan ke kanan. Mendengar kata-kata Bujang Tigo itu, harimau tersebut mangaum-ngaum. Dia tampaknya amat marah kepada Bujang Tigo. Dia benar-benar ingin  menghabisi nyawa  Bujang  Tigo.

Beberapa saat kemudian, Bujang Tigo melompat ke anak jenjang nomor tujuh. Dari atas sana dia meminta agar harimau itu mundur saja kalau tak ingin nyawanya melayang. Namun mendengar ucapannya itu, harimau itu langsung mengaum dan menengadahkan mulutnya kepada Bujang Tigo. Beberapa kali harimau itu mencoba naik. Tapi setiap menggapai anak tangga itu dia langsung terjatuh. Sesampai di bawah dia mengaum.

" Kamu, apakah ingin mati juga ?', tanya Bujang Tigo kepada harimau itu. Mendengar ucapan Bujang Tigo itu, dia langsung mengaum dan menganga kembali. Bujang Tigo langsung meludahi mulut harimau itu.

Selanjutnya dia terjun ke halaman. Begitu sampai di halaman langsung di serang harimau tersebut. Kaki Bujang Tigo yang telah terluka tersebut langsung diserang habis-habisan oleh harimau itu.

Kembali terjadi saling serang dan saling tangkap serta saling terkam antara harimau itu dengan Bujang Tigo. Kadang-kadang Ibu Nurani memejamkan mata, karena tidak mampu menyaksikan kejadian itu. Apalagi ketika melihat kaki Bujang Tigo telah terluka.

Dalam perkelahian yang  menakutkan itu, tiba-tiba Bujang Tigo melompat tinggi-tinggi. Dia melayang-layang di udara. Beberapa saat kemudian. Dia melompat lagi ke sebatang pohon kayu di pinggiran halaman rumah tersebut.

Di atas pohon kayu itu, dia mengambil lidi kelapa hijau muda yang terlilit di pinggangnya. Ketika lidi itu dilayangkannya ke arah harimau yang sedang menganga di bawahnya itu, harimau tersebut langsung meraung, melonjak-lonjak dan berputar-putar di sekitar halaman rumah tersebut.

Tak berapa lama, harimau itu melambung-lambung bagaikan cacing kepanasan. Sesekali dia meraung, mengaum dan melambung-lambung. Sedang harimau tersebut dalam keadaan demikian, Bujang Tigo melompat ke halaman. Setiba di halaman langusng menyerang harimau tersebut.

Bujang Tigo membawa harimau tersebut berlari di sepanjang halaman. Kemudian dia berhenti dan harimau itu langsung melompat arah ke kepalanya. Ketika harimau itu akan  menerkam kepalanya, Bujang Tigo merebahkan badan. Harimau itu berada di atasnya. Namun ketika harimau tersebut akan mengoyak kepalanya, langsung tangan kanan Bujang Tigo menepis kedua tangan harimau yang telah mengeluarkan kukunya. Harimau tersebut tercampak ke sudut halaman, ketika tangan kanan Bujang Tigo menyinggahi perutnya. Harimau ini mengaum saat tangan Bujang Tigo menyinggahi perutnya.

Di saat sang harimau ini akan mengulangi serangannya, Bujang Tigo berdiri. Baru saja harimau itu akan mengulangi serangannya, kaki Bujang Tigo menyinggahi rusuk sang harimau itu. Sontak, harimau itu meraung dan mengengkeng-ngengkeng berlari meninggalkan halaman rumah ladang itu.

Sekitar lima meter harimau itu berlari meninggalkan halaman rumah tersebut, langsung dia tidur. Binatang garang itu mengeluh-ngeluh. Ketika suara harimau itu telah benar-benar hening, Bujang Tigo mendatanginya. Waktu dilihat Bujang Tigo secara cermat, ternyata harimau itu telah mati.

Pendekar Gunung SangkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang