11

413 14 0
                                        

Engku Kabanaran menurutinya. Dia mundur dan kembali berdiri ketempatnya semula. Sementara Tiang Bungkuk telah  memulai langkah, begitupun pendekar Kusin.

Kemana saja langkah kaki pendekar Kusin selalu diiringi Tiang Bungkuk. Sebaliknya, tiap gerak langkah Tiang Bungkukpun diikuti oleh Pendekar Kusin.

Beberapa saat kemudian, setelah sama-sama mengeluarkan gerak dan gerik masing-masing Pendekar Kusin mencabut keris dari pinggangnya.

Begitu keris itu tercabut lalu diacungkan ke atas, tiba-tiba menggelegar petir yang amat dahsyat, hingga air rawang yang tadinya tenang tampak beriak karena kuatnya dentuman petir tersebut.

Berselang beberapa menit saja, hujanpun turun. Sementara kedua pendekar yang tengah berlaga itu  tetap asik menjaga langkah dan geraknya masing-masing.

Rambut kedua pendekar itu telah basah oleh derasnya hujan yang mengguyur. Tapi enehnya Engku Kabanaran yang juga berada tak jauh dari tempat pendekar itu berlaga tak basah sedikitpun. Dengan gaya santainya Engku Kabanaran menikmati rokok daunnya.

"Kamu mulailah menyerang ..!", pekik pendekar Kusin . Tapi Tiang Bungkuk tak menyahuti teriakan itu. Dia tetap saja mengikuti gerak dan langkah-langkah yang dimainkan pendekar Kusin sembari meliuk-liukan tangannya yang memegang sebilah keris.

"Sekarang hentikanlah permainan kalian ini, bosan aku melihatnya. Akhirnya darah mudaku muncul juga jadinya. Denganku sajalah kamu bersilat Pendekar Kusin, mari kita adu kekuatan kita, kemampuan juga ilmu kita saat ini", kata Engku Kabanaran sembari melangkah ke depan.

Sontak saja kedua pendekar yang sedang berlaga itu menghentikan langkah dan gerak mereka. Sementara hujan belum reda dan gelap mulai merayap turun.

" Kalau itu yang kamu ingini, boleh. Aku tak memandang lawan. Lebih cepat nyawamu melayang akan lebih baik", kata Pendekar Kusin sembari mengacungkan kerisnya.

Tiang Bungkuk tersenyum mendengar percakapan kedua pendekar itu. Tiang Bungkuk tak bicara sepatah katapun, hanya sesekali dia tampak mengibaskan rambutnya yang terjuntai kedahinya karena basah tersiram air hujan.

Kendati posisi Engku Kabanaran telah benar-benar dekat dengan Pendekar Kusin dan Tiang Bungkuk, tetap saja Engku Kabanaran tidak tersentuh air hujan. Malahan tubuhnya berkeringat seolah sedang berjemur diteriknya matahari.

" Sudahkah kamu pikirkan dan apakah kamu sudah ingat semua ilmu yang ada di dadamu. Kini mari kita buktikan, siapakah yang benar diantara kita. Siapakah diantara kita yang bisa disebut sebagai Pendekar Silat Minang sejati, bukan pesilat yang berkhianat dengan ilmunya untuk merampas harta orang lain bahkan menganiaya orang lain", kata Engku Kabanaran sembari membuang rokok daun enaunya.

"Aku tak peduli apakah silat tradisional Minang ini untuk membela atau menganiaya. Kalau perlu seperti sekarang ini, untuk menganiaya kalian berdua. Sebab, jika kalian berdua masih hidup, akan menjadi penghalang langkah kami buat berbuat yang kami mau. Kalian berdua harus enyah dari muka bumi ini. Bagi perguruan kami, prinsip yang dipakai adalah ' ijuak bak ijuak tali bak tali, isuak bak isuak kini bak kini  ( untuk esok, esok pula, yang penting hari ini )' ", kata Ppendekar Kusin.

" Kita mulai sajalah, mumpung hari belum terlalu kelam", ujar Engku Kabanaran.

" Boleh, kalau itu yang kamu inginkan ", ujar Pendekar Kusin.

Mereka berdua memulai langkah dengan silat Pangian. Ranting-ranting pepohonan yang ada disekitar arena adu silat ini berjatuhan ketanah karna tendangan dan sepak kedua pesilat ini.

Setelah beberapa lama mereka saling menjaga langkah, saling mengintai dan saling menangkap, terpekiklah pendekar Kusin, dia terjatuh.

Begitu  Pendekar Kusin terjatuh, Engku Kabanaran menghentikan langkahnya dan berdiri menatap Pendekar Kusin yang masih tergolek di tanah.

Pendekar Gunung SangkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang