6

405 18 0
                                    

Melihat suasana itu , teringat oleh Tiang Bungkuk kejadian yang ia alami semalam di bawah pohon limau sembilan macam di atas bukit batu terbalik

Dia teringat dengan kilat yang menyambar tadi malam, yang diiringi bunyi gemuruh alam dan debu angin yang amat mencemaskan sekali.

Sambil berdiri Tiang Bungkuk membaca do’a kapai-kapai, semacam mantra untuk menolak musuh dari darat dan laut maupun dari udara.

Sehabis membaca mantera itu dia langsung menghentakkan kaki ke bumi. Dan seketika itu juga suasana di sekitar rumah itu hening.

Lelaki yang didepannya tiba-tiba heran, dia menatap wajah Tiang Bungkuk sendu sekali. Bagaikan lemas badannya menyaksikan kejadian barusan.

“ Sebaiknya kalau kamu mau melawanku juga, kamu carilah teman yang lain, yang lebih tinggi ilmunya dari ilmu yang kamu miliki. Sekali lagi aku katakan, bahwa bagiku lawan tidak boleh dicari, dan kalau datang berpantang pula mengelakkannya”, ujar Tiang Bungkuk dengan suara datar.

Baru saja sampai ucapan Tiang Bungkuk, lelaki itu hilang entah kemana. Beberapa kali Tiang Bungkuk menatap kiri dan kanan, tapi tak juga bisa melihat lelaki yang baru saja berada di depannya.

Ketika dia melihat ke sudut halaman sana, dia melihat ketiga lelaki itu masih belum bangun. Masih tertidur. Matanya masih terpejam.

Waktu Tiang Bungkuk melihat ke pinggir halaman, dia masih melihat kakek itu tadi duduk di atas batu sambil memegang tongkat.

“ Bagaimana kek ?, apakah sudah sepantasnya aku melawan kakek di halaman ini, menjelang ketiga cucu kakek itu siuman”, ujar Tiang Bungkuk serius sambil melihat kearah kakek tua itu.

“ Boleh..boleh..anak muda”, kata kakek itu sambil berjalan dengan meninggalkan tongkatnya di pinggir halaman.

“Mulailah anak muda,  biar kakek mengiringi langkahmu dari sini “, ujarnya sembari tetap batuk-batuk. Desah nafasnya terdengar sampai ke ujung halaman, ketempat Tiang Bungkuk berdiri.

Tiang Bungkuk mulai membuka langkah serong. Selanjutnya dia rubah langkahnya dengan langkah papek. Kakek itu nampak menuruti kemana langkah Tiang Bungkuk mengarah.

Ketika kakek itu menyerang dengan serangan tinjunya yang amat kencang. Tiang Bungkuk langsung menangkisnya dengan tangan aia basah.

Terpelanting tangan kakek yang sedang terkepal kuat itu oleh tangkisan Tiang Bungkuk. Kemudian lelaki itu bersurut ke belakang.

Setelah dia ambil langkah kembali, dan maju dengan langkah sipak belakang. Selanjutnya Tiang Bungkuk menyambungnya dengan Sambuik sarato Kunci.

Lelaki itu benar-benar tak mau mengalah. Dan ketika suatu kali Tiang Bungkuk lengah, langsung kaki kanan kakek itu menyambar jakun Tiang Bungkuk.

Tiang Bungkuk tersungkur ke tanah. Darah segar menyembur dari rahangnya. Darah keluar amat deras dan membuat tanah halaman rumah itu sekejap matanya saja memerah.

Tiang Bungkuk tiba-tiba tak sadarkan diri. Bajunya sudah basah kuyup oleh darah. Setiap dia batuk darah selalu mengucur dari mulut dan hidungnya.

Sesekali nafas Tiang Bungkuk terdengar bagaikan kerbau dipotong. Bunyi nafasnya amat menakutkan. Matanya sudah terpejam lemah.

Ketika Tiang Bungkuk dalam keadaan demikian, tiba-tiba seorang gadis berambut panjang berlari turun dari rumah. Dia lari menuju tubuh Tiang Bungkuk yang sedang terkapar.

“Kakek mengapa begitu kejam. Mengapa kakek aniaya lelaki ini. Bukankah dia hanya manusia, bukan sebangsa kita, yang telah terbiasa hidup disini “, kata gadis itu.

Pendekar Gunung SangkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang