15

353 17 0
                                    

Beberapa sat kemudian, terdengar kembali suara raungan dari keliling ladang itu. Suara itu menengkawang bergema ke sela-sela pohon kayu di hutan sana.

" Mana kamu Tian ? silahkan maju. Atau anak mudamu itu yang maju. Biar kami bantai malam ini. Mayatnya akan kami seret sepanjang sudut ladang ini", ujar suara seseorang dari mereka.

" Silahkan kamu semuanya menunggu saya di sana. Tapi kalian harus benar-benar siap untuk hidup atau mati. Kalian harus ingat, bahwa belum pernah kebenaran dikalahkan oleh kebathilan. Walaupun dengan perlahan, kalau sudah terlalu lama berbuat dzalim. Sudah sepantasnyalah malam ini kalian menerima pembalasan ", sahut Pendekar Gunung Sangku .

Suara Pendekar Gunung Sangku barusan sungguh benar-benar mengejutkan. Sungguh demikian lantang dan bergema, terdengar keseluruh penjuru ladang ini.

Rupanya tanpa setahu Pendekar Gunung Sangku, suaranya yang demikian itu adalah ulahnya Bunga yang sengaja membuat suara Pendekar Gunung Sangku terdengar seperti itu. Pendekar Gunung Sangku sendiri malah heran, kenapa suaranya bisa seperti itu, padahal dia tak punya ilmu buat memperbesar suara.

Tak ada satupun jawaban dari pekikan  suara Pendekar Gunung Sangku barusan. Semuanya hening. Semuanya bagaikan bersembunyi di hutan-hutan belantara.

Akan tetapi beberapa saat kemudian, muncullah dri sekeliling ladang itu orang berpakaian serba hitam dengan parang panjang di tangannya.

Dia berlari dari segala sudut ladang itu. Rumpun-rumpun padi yang demikian tinggi dan besar-besar, tampak dikeremangan malam itu tercabut-cabut dan melanting ke udara oleh kaki orang-orang berpakaian serba hitam itu. Semuanya menuju ke arah rumah yang kini Pendekar Gunung Sangku ada di bawahnya.

Melihat hal itu, Pendekar Gunung Sangku segera berlari ke halaman. Di halaman rumah itu dia berdiri. Bunga berdiri di atas tangga rumah .

Mendengar kaki-kaki yang demikian banyak, Ibu Nurani melihat ke bawah melalui liang dinding kayu rumahnya yang cabik. Aduhai menggigil wanita itu melihat orang-orang berpakaian serba hitam menuju rumahnya itu.

Dia rangkul anaknya dan Pak Tian ingin turun. Tapi kakinya dipegang Ibu Nurani. Beberapa kali dia menghentakkan kakinya ingin turun, namun tetap dipegang erat-erat oleh Ibu Nurani.

" Tidak...Tuan tak boleh turun, lihatlah betapa banyaknya orang itu. Kita akan mati malam ini. Pendekar akan mati . Ya Allah..tolonglah kami", kata Ibu Nurani sambil menggigil.

Mendengar suara Ibu Nurani tersebut , anak-anaknya menangis, baik Pardi, Imran maupun Jusni, Bahkan Jusni serasa hendak ikut turun ke bawah mengikuti Pendekar Gunung Sangku.

" Aku akan turun. Aku tak mau kakak mati. Kasihan dia, gara-gara  kita dia mati. Biarlah aku mati bersamanya" tutur Jusni tampak amat nekad.

Dia dilarang Pak Tian. Di rumah itu sudah pada bertangisan. Beberapa kali Jusni memekik. Namun Pendekar Gunung Sangku menyuruhnya diam, sabar dan yakin bahwa Allah tak akan berpihak pada yang dzolim.

" Biar aku mati bersama kakak ", raung Jusni tiba-tiba.

"Jangan Jus. Tak ada yang boleh mati, kita harus hidup semuanya. Allah akan berpihak pada kita, bukan pada para pencuri itu", kata Pendekar Gunung Sangku sambil membisikan dengan suara lunak, agar jangan memanggil namanya dengan Pendekar Gunung Sangku.

Beberapa meter menjelang sampai di halaman rumah itu, tiba-tiba orang-orang berpakaian serba hitam dengan parang terhunus ini  berhenti secara serentak.

" Kini kami menuruti keinginanmu. Apakah kamu mau mati di tengah sawah, di halaman atau kami bawa ke sasaran silat Sungai batang Pudau milik kami malam ini juga anak muda. Kami lihat kamulah yang menjadi biang keladi yang melarang kami mengambil padi. Mungkin kamu belum tahu siapa kami ", tutur seorang diantaranya.

Pendekar Gunung SangkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang