Gadis itu bergegas naik. Kemudian dia kembali dengan secangkir air putih. Setelah dia berikan kepada Tiang Bungkuk. Dia suruh Tiang Bungkuk meminumnya.
Begitu air tersebut diminum Tiang Bungkuk, dia merasakan air itu benar-benar sejuk. Sakitnya terasa benar-benar langsung hilang seketika itu juga.
Kekuatannya dia rasakan seperti semula, seperti sebelum bersilat tadi, kekuatannya benar-benar pulih dan tak sedikitpun lagi merasa lelah.
Dan beberapa saat kemudian Tiang Bungkuk mengambil galewangnya yang terpental tadi, yang diambil hanya separoh arah kepangkalnya, sedangkan yang separohnya lagi ia biarkan saja.
Begitu selesai adu kepandaian, mimpi Tiang Bungkuk ternyata berakhir. Dia tersentak, ketika matanya terbuka, dia melihat badannya tetap saja tertidur di banir kayu seperti sebelum tidur tadi.
Dia melihat kehutan itu sudah mulai agak teduh, pertanda hari sudah mulai petang. Badannya terasa segar karena baru saja habis tidur.
Dan tanpa berpikir panjang lagi dia melangkah menuju kampungnya di Sungai Penuh. Dia berjalan pulang tanpa membawa sehelai rotan pun.
Namun yang menjadi suatu keanehan bagi Tiang Bungkuk, bangkai ular yang terkelampai tadi tak ada lagi. Galewang yang ada disarung yang tergantung dipinggangnya memang tinggal separoh. Persis seperti baru saja patah. Sedangkan patahannya itu tak ditemukannya.
Dengan penuh rasa heran terhadap dua hal ini, dia melangkah pulang. Nasi yang sudah terbuka bungkusnya tadipun dia biarkan saja tinggal dihutan itu.
Jalan pulang yang ia lewati temaram, kadang langkah lelaki itu terseok, karena terantuk akar kayu. Namun bagi Tiang Bungkuk hal itu sudah biasa. Kakinya sudah kebal dengan onak dan berbagai akar kayu.
Setelah sekian lama berjalan. Dia mendengar kokok ayam. Tiang Bungkuk makin percaya bahwa perjalanannya sudah dekat. Tak lama lagi dia akan sampai dirumah orang tuanya.
Senja makin kelam, suara cacing tanah menggema memberi pertanda bahwa hari sudah senja. Hingar bingar hutan itu semakin terasa, ketika suara kerbau pandir, pukang dan siamang bersahut-sahutan disela-sela pepohonan.
Kemudian dia sampai pada sekelompok rumpun-rumpun silabau, semacam bambu tapi dalam ukuran kecil. Tiang Bungkuk berjalan disela-sela rumpun silabau tersebut cepat sekali.
Tak berapa lama, Tiang Bungkuk sampai di ladang Jarudin, ladang seorang penduduk Sungai Penuh. Sehabis berjalan di ladang padi yang padinya baru berumur dua bulan itu Tiang Bungkuk sampai di kampung Sungai Penuh, sementara hari sudah mulai malam.
" Ibu....Ibu..! Buka pintu bu ! aku pulang ..!", kata Tiang Bungkuk sambil mengetuk daun pintu rumah ibunya. Beberapa kali dia ketuk tak ada orang yang terdengar di rumah. Tiang Bungkuk berdiri sejenak dibalik daun pintu sebelah luar, dalam kelelahan.
" Kamu Tiang ..? Ibu tadi sedang sembahyang magrib. Mengapa semalam ini kamu baru pulang. Ibu tadi sudah kecemasan menunggumu ", kata ibu Nurima dari dalam sambil berjalan arah kedekat daun pintu dengan telekung yang masih dibadannya.
Daun pintu terbuka Tiang Bungkuk melangkah ke dalam rumah. Dia tak berbicara satupun.
" Baju ini kenapa koyak. Apa kamu tadi jatuh di hutan ?", tanya ibu Nurima tercengang.
" Tak ada bu, tadi terkena ranting kayu. Tak pa-apa ", kata Tiang Bungkuk menyembunyikan kejadian yang dialaminya siang tadi dihutan.
Padahal bajunya itu koyak oleh taring ular yang menangkap pinggangnya yang tadi mengeluarkan darah.
Untung saja darah dibaju kumalnya itu sudah kering, sehingga baju yang sudah tak berwarna lagi itu mampu menghilangkan warna darah yang mengering disana.

KAMU SEDANG MEMBACA
Pendekar Gunung Sangku
ActionKisah dari Ranah Minang Tentang Pendekar Silat,Dendam,Kematian Dan Drama Cinta