Itulah kisahku tiga tahun yang lalu ketika masih bekerja di sebuah perusahaan biro jodoh di kota Surabaya. Kini, di depanku adalah Mbak Lilis. Mantan customerku dulu yang kini menatapku dengan penuh perhatian. Sorot matanya rindang. Memayungi jiwa panasku, ibarat pijar inti matahari tak lekang oleh waktu, terus menyala-nyala abadi.
Entah, harus kepada siapa aku marah? Aku bukan lagi remaja yang asyik berceria-ria di luar sana. 'Ngalor ngidul' berboncengan motor ramai-ramai. Kini, bebanku menahan kepiluan sangat berat. Aku tak mampu memikulnya. Cita-citaku terpaksa kandas. Mimpi-mimpi setinggi langit pun runtuh.
"Lilis berharap Mas Wawan bisa seperti dulu lagi," lirihnya. Pelan. Namun tak membuat bibirku menyeringai. Aku tabu pada tabiat perempuan. Sungguh aku tidak bisa menebaknya. Apalah arti sekotak nasi, sebungkus pier dan sebotol susu dari seorang janda beranak satu ini kepadaku? Aku hanya seorang bujang lapuk, usia 34 tahun belum menikah. Tempe berjamur saja masih laris di lapak penjual sayur, sedang bujang lapuk? Lalat hijau pun tak sudi menghinggapinya.
"Makanlah, Mas. Mungkin dengan mengisi perut, jiwa juga akan terisi," suruh Mbak Lilis memanggilku Mas. Nyatanya, jika kuraba, usianya lebih tua dari usiaku, namun dia biasa memanggilku Mas.
Dulu, aku berjuang mati-matian memproges Mbak Lilis biar penampilannya kembali mewangi seperti melati sore hari. Biar suaminya kembali menjadi kumbang lalu dengan terbuka menjamah tiap helai putiknya. Mmm.. sayang seribu sayang. Ternyata cinta tak melulu tersedot oleh pesona jasmaniah. Faktanya, suaminya tetap membawa Mbak Lilis ke depan hakim pengadilan. Alasannya klasik, merasa sudah tidak harmonis lagi, hingga cerai pun menjadi pintas satu-satunya.
Faktanya lagi, suaminya lebih memilih Yuyun si perebut cinta suami orang. Tak ubahnya Yuyun layak disebut sebagai perusak takdir cinta Mbak Lilis. Ketika final bercerai, Mbak Lilis sempat mengadu ke depanku. Air matanya berlinang. Deras. Spontan Mbak Lilis mencokok mantra kutuk pada si Yuyun.
"Mas, begini yah rasanya diselingkuhi suami, lalu berujung pada perceraian? Ah, rasanya perih sekali. Sakit sekali hati ini Maaaaaas!" tangis Mbak Lilis ketika itu. Aku hanya mampu mengelus kesabarannya. Menguatkan jiwanya.
Begitulah cinta. Cinta itu ibarat mata api. Dia mampu menerangi kegelapan, juga mampu meramaikan kesepian. Tetapi api juga bisa membakar lantas melenyapkan keramaian itu sendiri. Hingga seorang patah hati, balik selimut atau sudut kasur pun menjadi tempat terbaik untuk mengisi hidup.
Tak berdaya. Lemah. Hancur. Itulah muasal cinta yang jika menjurus bukan pada tempatnya. Padahal sekali lagi, konon cinta adalah air mata suci yang sangat menyejukkan. Kecuali bagi Mbak Lilis. Cinta adalah air nanah. Mendidih. Menyiksa para pendosa dalam neraka abadi.
"Yuyun lebih menjijikkan dibanding pelacur, Mas! Pelacur masih punya etika! Mangsa lain tidak mungkin langsung dicengkramnya kecuali mangsa itu datang sendiri pada birahinya! Nah, si Yuyun tidak. Dia cobra betina! Dia sengaja mendatangi jantannya lebih dulu!"
"Astagfirullah Mbak, jangan bernada seperti itu. Kurang lunak didengar telinga. Mbak Lilis Muslim kan? Mbak Lilis jangan sampai meninggalkan sholat yah. Allah pasti menolong hamba-hamba-Nya yang istiqamah menjalankan sholatnya," pesanku tak bermaksud menggurui Mbak Lilis. Aku hanya meneruskan pesan ibuku, bahwa sholat adalah tiang kehidupan. Jika tidak ada tiang, maka bangunan sekokoh apa pun pasti akan roboh. Sebelum tiang, kata ibu, ada iman sebagai fondasinya. Asal fondasi dan tiang kuat, ada badai seterjang Katrina pun tak mungkin merontokkan walau sekeping.
Mbak Lilis hanya bisa mengangguk sambil meraba wajahnya sendiri. Ia cari tiap tetes air matanya di sudut-sudut kelopaknya. Isakan tangisnya membuatku empati. "Minumlah air ini Mbak. Semoga Allah lekas memberimu jalan. Labirin penderitaan pasti ada jalan keluarnya kok. Yakinlah, Tuhan itu Maha Mendengar," ucapku memberinya sebotol air segar.