Aku menangis terisak-isak. Meratapi kepiluan hidup ini. Hidupku serasa hancur lebur. Ketika kebebasan menjadi pintu gerbang kebahagiaanku, ibuku menghilang sejak empat tahun yang lalu. Ketika puji syukur kuhambur-hamburkan ke udara, keluargaku pecah berkeping-keping. Imah dibawa minggat suaminya ke Nganjuk. Dan bapakku...? Oh, bapak, nasibmu menggedor-gedor hatiku. Empat tahun yang lalu ketika terakhir kumelihatmu engkau tampak sehat bugar penuh keceriaan. Tapi kini, tubuhmu terhuyung lengket di atas sprei.
Aku kembali menumpahkan air mata. Tidak tega melihat bapak terbujur lemah di rumah Budhe Sri. Kata Budhe, bapak sengaja ditirahkan ke rumahnya. Mungkin saja tirahnya bisa membuatnya sembuh. Itulah kebiasaan orang Jawa. Jika ada keluarga yang sakit lama tak kunjung sembuh biasanya disuruh pindah sementara ke rumah orang lain. Berharap cepat diberi kesembuhan.
"Bismillah, minumlah air ini, Le. Air suwuk ini sudah didoain Pak Kabul. Semoga kamu kuat, Le," tutur Budhe Sri menyuguhkan segelas air putih ke mulutku.
Pandanganku kosong. Tubuhku terduduk letih. Diapit Budhe Sri dan Salsabillah, adikku, sambil memandang pilu kondisi bapak yang tengah sakit parah.
"Di mana sekarang ibu berada, Dhe? Di manaaa???" isakku kembali pecah. Dada terasa ditusuk-tusuk pisau. Wajahku basah dibanjiri airmata sendiri.
"Budhe dan Pak Dhe sudah lapor ke sana ke mari, Le. Tapi tidak ada hasil sama sekali. Kami semua bingung. Saat itu hari-hari ibumu dipenuhi gusar luar biasa sejak tiga bulan lebih tidak mendengar kabarmu. Ibumu sering sakit-sakitan, jarang makan pula. Dia bercerita, kenapa Wawan tidak pernah pulang? Padahal setiap bulan biasanya pulang. Lah, sudah tiga bulan lebih kamu tidak ada kabar. Ibumu resah. Dia mendedas Imah, menyuruhnya meneleponmu. Tapi Imah seperti tidak peduli.
Ibumu tidak putus usaha. Dia minta bantuan ke Hafid, pemilik warnet pojok. Ibumu minta dicarikan alamat kerjamu dari internet. Akhirnya berhasil. Ibumu mengantongi alamat dan nomor telepon tempat kerjamu di Surabaya. Pagi-pagi sekali ibumu pergi membawa tas selempang. Namun seperti kebiasaanya, ibumu tidak membawa HP karena memang tidak bisa menggunakannya, juga tidak membawa KTP. Pagi buta dia nekat pergi mengunjungi tempat kerjamu.
Kami semua sudah melarangnya. Kami menyuruhnya sabar. Namun, ibumu tetap saja berangkat naik ojek ke jalan raya. Di hari yang sama, Imah adikmu dibawa minggat ke Nganjuk oleh suaminya. Kami sekeluarga, budhe-budhemu, pak dhe-pak dhemu, saudaramu, tetangga, semua sangat sedih menyaksikan cobaan keluargamu ini.
Hingga berbulan-bulan sejak itu ibumu tidak pernah kembali lagi. Saking sumpeknya, bapakmu mulai terserang penyakit. Madrasah dan mushala tidak terurus lagi. Bapakmu sibuk dengan sakit strokenya itu."
Mataku terpejam. Jiwaku melayang. Tuhan memberiku cobaan yang pundakku keberatan memikulnya.
"Budhe sudah minta bantuan ke orang-orang pintar. Tapi, isyaratnya tidak jelas tentang keberadaan ibumu," tambah Budhe dalam ceritanya.
"Ya Allah, temukanlah ibuku, pulangkanlah Imah ke rumah ini, sembuhkanlah penyakit bapakku. Satukan kembali keluargaku ya Allah. Hamba mohon," tangisku tersedu-sedu. Budhe dan Pak Dhe ikut larut bersama tangisanku.
***
Di pagi hari, selepas sholat Subuh, tubuh kugerakkan pelan. Kutatap matahari yang muncul malu-malu dari arah timur. Udara bertiup pelan dari lereng gunung Arjuno. Aroma dedaunan teh Wonosari laksana angin rahmat dari Allah SWT.
"Le, ini kopimu. Segera diminum, Le. Mumpung hangat," ucap Budhe Sri menaruh segelas kopi beraroma harum di atas meja teras.
"Iya, Budhe. Terimakasih."
"Le?"
"Iya, Dhe."
"Budhe kasihan sama kamu."