Aku kecewa menyaksikan Klinik Cinta tutup. Sumber utama pengungkap kasusku pun sebagian kandas. Semoga tidak terlalu menjadi kendala, dan kasusku bisa terbidangi dengan baik oleh Mas Qodir. Aku berharap dia berhasil mengungkap siapa dalang sebenarnya.
Karena capek memandangi tempat kerjaku dulu, yang kini layak disebut gudang lusuh itu, kami pun mencoba jalan-jalan ke Mall Tunjungan Plaza. Mall ini modern. Membidik pasar kelas menengah ke atas. Letaknya tepat di depan ex Klinik Cinta.
Aku minta turun depan mall saja. Tepat di blok TP 1. Mas Qodir terus masuk ke areal parkiran mobil di belakang. Kutunggu dia di depan pintu masuk.
Ketika kurebahkan punggung di kursi tunggu, sekonyong-konyong dari arah barat, melanja sosok perempuan muda bersyal rumbai-rumbai bersama beberapa cewek muda bercelana ketat-ketat. Wauuuuw ....
"Mbak Lilis? Wah, itu Mbak Lilis ya?!" kagetku.
Segera ongkang-ongkang kaki kututup, lantas aku bangkit berdiri.
"Tidak salah lagi. Itu Mbak Lilis! Ngapain dia jalan-jalan ke mall siang-siang begini?" tanyaku pada diri sendiri.
Dari kejauhan, gelagak canda ria darinya menderu keras. Itulah sebenarnya yang membuatku tidak menyukainya. Mbak Lilis ini sebenarnya lembeng, mudah menangis. Tapi kalau sudah tertawa, jarak satu kilometer pun suaranya masih terdengar sangat nyaring.
Kuhadang dia di dekat pintu masuk. Jaraknya denganku semakin dekat. Dia masih belum sadar keberadaanku. Dia sibuk jawel-menjawel temannya bersama gemuruh tawanya.
Hadanganku berhasil. Dia berhenti. Kaget. Tatapannya nanar. Dengan cepat, tangannya menyambar syal rumbai-rumbainya. Ujuk-ujuk kain yang mengitari lehernya itu dia pakai sebagai kerudung. Lalu alibinya seolah tidak menyadari keberadaanku. Dia terus saja berjalan pelan di depanku bersama teman-temannya.
Merasa kuawasi, seorang temannya melirikku dengan tatapan manja. Dalam hatiku berkata, "Ih, jijik sekali melihat model cewek seperti itu. Sudah bibirnya merah sesegar darah, alis sapu badai, rambut disemir seperti rambut jagung, apalagi lekukan tubuhnya sangat ketat hingga kubangan lemak-lemak tubuhnya terlihat jelas. Astaghfirullahal adzim. Dosa mata ini namanya!"
Aku segera menunduk, menjaga pandanganku. Mata harus selalu kujaga kesuciannya, tidak boleh dikotori pemandangan-pemandangan menjijikkan semacam itu. Tapi sulit, di mall-mall modern kota Surabaya ini, mata tidak akan terlepas dari perempuan-perempuan bercelana pendek hingga mulus pahanya pun bisa terlihat betul. "Astaghfirullah ... Asraghfirullah." Aku kembali meminta ampun pada Allah.
Kuawasi saksama cara berjalan Mbak Lilis ketika menuju tangga. Kedua kakinya ongah-angih. Mirip tower digoyang angin.
"Eh, eh, eh," teriakku pelan sambil terus membuntutinya dari belakang.
"Blekkk ....!!!" Suara tasnya jatuh bersama badan besarnya ke lantai.
Mbak Lilis terkilir. Dia terjerembap di anak tangga pertama.
"Auh! Tolong ....!!!" roengnya.
Tapi, jatuhnya tidak otomatis. Gerakan jatuhnya pelan seperti disengaja. Ibarat aktris itu over akting. Sebutan itu memang layak disemat padanya.
Aku tetap teguh berada dua meter dari belakangnya. Seorang security mengawasi. Rupanya hendak menolong, tapi ragu. Begitu juga uluran tangan teman-temannya, Mbak Lilis tampik begitu saja seperti menolak pertolongan. Jadinya, hingga beberapa detik berjalan, Mbak Lilis tetap tertahan di atas sungkuran lantainya. Dia merintih kesakitan sembari memegangi pergelangan kaki. Setengah menangis.
Terpaksa, seorang security berbadan gemuk berkulit hitam akhirnya datang menolongnya. Dengan kekuatan extra, si pengaman mall itu begitu saja menjunjung Mbak Lilis berdiri. Pas security lewat depanku, hmmmm ... bau badannya 'mak bleng' bagai angin kentut lewat. Sampai-sampai temannya Mbak Lilis yang menggerombolinya menjauh setelah didekati si security.