Sambil menunggu kemunculan Abah, aku mengarak awan dari satu sudut ke sudut yang lain. Cakrawala membias cerah. Sekumpul awan tipis bergerak cepat mengikuti panduanku. Coba kukumpulkan segerombol awan memakai jari supaya menjadi mendung lalu menghujaniku. Aku rindu dihujani. Alangkah sejuk hujan itu kala hati butuh siraman seperti ini.
Lima belas menit, Abah dan Jupri tak kunjung menunjukkan batang hidungnya. Aku enjoy saja duduk di kursi kayu tepi lapangan. Hamparan rumput gajah menambah suasana asri.
Kuedarkan bola mataku ke gawang hingga ke seluruh areal lapangan. Terlintas satu dua orang napi bermain bola ala kadarnya. Satu orang lagi terlihat memotong rumput.
Perlahan aroma kopi menghampiriku dari belakang.
"Akhirnya kamu datang juga, Jup?" kataku menoleh ke arahnya. Jupri membawakanku segelas kopi hitam. Harum. Menggugah selera aromanya.
"Mau rokok?" Jupri juga menyodorkan sebatang korek dan selencer kretek gabus.
Aku mengangguk. Segera kusulut ujungnya. Kusedot pelan lantas kusembul asapnya hingga membumbung tinggi bersama awan yang kukarak tadi.
Kami berdua menikmati teduhnya pagi. Harumnya kopi memantik bayang-bayang ilusi. Diorama Ratu Balqis pun kembali muncul dalam benakku.
Aku kembali mengiriminya selembar surat. Yaitu surat lamaran dariku. Bukan sekadar tawaran cinta, namun tawaran menikah. Ratu Balqis tak semena-mena menerima tawaranku. Dia adalah Ratu terbijak di jagat raya. Setiap ada surat masuk dia tak luput meminta pendapat pada pembesar-pembesarnya.
"Wahai pembesar-besarku? Ada seorang raja melamarku. Apa yang sepatutnya aku lakukan?" Ratu Balqis meminta pendapat pada para pembesar istana.
"Sekiranya Ratu juga mencintainya, maka tidak patut jika kami melarangnya. Segala putusan mutlak milik Ratu sendiri," jawaban bijak dari mereka.
"Baiklah, sebenarnya saya juga mencintainya. Kalau begitu balaslah surat ini padanya. Katakan, minggu depan saya akan mengunjunginya."
"Baik Ratu. Titah Ratu segera kami laksanakan."
Setelah mendapat surat balasan, bahwa Ratu Balqis akan datang ke istanaku, segala persiapan kulakukan demi menyambut kedatangannya. Istana direnovasi total. Depan istana ditambahi air mancur aneka warna. Dibumbui Bunga-bunga bermekaran ria. Tak sabar diriku menunggu hari H.
Seminggu berlalu. Akhirnya hari yang paling kutunggu-tunggu tiba. Dadaku menghempas kecemasan. Jantung kembat kembit tak karuan. Was-was. Rasa cemas memeluk tubuhku dalam-dalam. Aku mondar mandir seperti orang linglung. Berjalan dari singgasana ke altar, pun sebaliknya.
"Duduklah Raja, Ratu Balqis pasti datang, tenanglah, jangan merundung kecemasan berlebih," ucap Dayang Arimbi menasihatiku. Namun keningku tak bisa diajak kompromi. Kucuran keringat dingin menetes deras. Perasaanku tidak enak. Firasatku buruk. Apa kira-kira yang akan terjadi? Semoga tidak ada kesialan menimpaku. Semoga tidak terjadi apa-apa.
Rombongan prajurit dari Kerajaan Saba datang tiba-tiba. Aku bangkit cepat menghampiri mereka. Setengah berlari.
"Mana Ratu Balqis?" tanyaku tergagap gembira.
Mereka diam. Menunduk syahdu.
Aku mencari Ratu Balqis di belakang rombongan prajurit namun tidak kutemukan.
"Di mana Ratu? Di mana?" tanyaku berteriak mencari ratu yang kucintai itu di antara sela-sela barisan mereka. Tapi tidak kutemukan.
"Di mana dia? Di mana dia?" tanyaku berkali-kali. Mereka bertahan dalam diamnya. Semakin menunduk. Mereka terlihat menebar kesedihan.