6

619 23 0
                                    

"Kamu kapan kawin, Wan?" tanyaku pada cermin.

"Entah," jawabku.

Kupandang wajahku sendiri. Menurutku wajahku ini tidak jelek-jelek amat. Orang bilang parasku ini manis. Bibir tipis, kumis tipis, jambang lurus, alis tebal, bola mata bulat dan lentik bulu mataku malah dikira palsu sama orang-orang. Kulit sawo matang ditambah hidung lancip. Kata orang, wajahku memang layak dikerubungi semut karena saking manisnya. Begitulah canda teman-temanku dulu. Tapi, kenapa diri ini susah lakunya?

Entah, semanis apa pun rupa jika uang tak ada akan sulit menggaet wanita, apalagi demi biaya menikah yang konon mahal harganya. Harga menikah itu semahal harga dalam penjara. Jika tidak punya uang, maka jangan sekali-kali tinggal dalam penjara. Tidak ada yang gratis dalam penjara. Semua berbayar, semua dipungli, semua dibisniskan. Begitulah. Itu fakta.

Akan segera kulewati semua ini. Mungkin setahun lagi aku akan menghirup udara bebas. Menikmati cerahnya mentari pagi hari sambil menyeruput kopi dan rokok, mantap. Semenjak dibui, aku jadi gemar minum kopi dan merokok. Dua benda itulah yang kini mampu membakar inspirasiku. Sambil merokok, ngopi, dan baca-baca buku. Uh, asyik.

Berbicara soal buku, kemarin Mbak Lilis mengirimiku segebok buku. Dia pernah kuberi tahu bahwa aku ini orangnya kutu buku. Aku bilang padanya bahwa aku sangat merindukan buku. Mbak Lilis pun tergerak memberiku aneka macam bacaan seperti buku agama, motivasi dan novel. Kini hanya Mbak Lilis satu-satunya wanita yang perhatian padaku.

Saat diriku merengkuh dalam sel, aku menghanyutkan kehampaan pada senja. Lembar demi lembar novel dari Mbak Lilis kubuka pelan. Kubajak untain kata-kata suburnya. Amat menawan. Cerita tentang sebuah pengorbanan. Pengorbanan atas dasar sebuah cinta. Seorang ayah rela banting tulang, kehujanan, kepanasan, demi mendapat sesuap nasi untuk anak dan istrinya. Juga seorang ibu yang rela menjual cincin satu-satunya demi melunasi SPP anaknya, si ibu melakukan itu supaya anaknya bisa ikut ujian sekolah. Pengorbanan orang tua pada anaknya sangatlah luar biasa.

Serasa isi novel ini benar-benar konek dengan realita hidup sekitarku. Ada bagian yang menceritakan hakikat sebuah cinta. Menurut novel ini, cinta itu sebenarnya pengorbanan. Seorang perempuan mandul mengikhlaskan tubuh suaminya dijamah oleh wanita lain demi membuat suaminya bahagia dengan alasan demi mendapat keturunan dari wanita lain, nah, itulah hakikat pengorbanan sesungguhnya. Padahal sejujurnya hati siapa yang tidak teriris? Lantas goresan hati itu dikecruti cairan jeruk nipis? Apakah tidak perih? Yah, sangat perih tentunya. Perasaan itulah yang sejujurnya dirasa oleh kaum hawa. Cuma karena rasa pengorbanan lebih besar, kecrutan air jeruk nipis itu pun seakan tidak terasa di atas lukanya.

Itulah cinta. Rela mengorbankan hatinya digamit guillotin, alat pemenggal kepala di zaman revolusi Perancis. Memang keji, kejam dan jahatnya luar biasa. Tapi demi cinta pada suami, seorang istri rela dipoligami. Sakit, tapi atas dasar berkorban itulah hati terkadang menjadi sekokoh batu gunung. Dihempas angin hujan badai pun tidak akan mungkin bisa goyah.

Begitulah intisari novel yang aku baca ini. Lumayan seru.

Ah, aku jadi ingat janjiku pada Ustadz Mujib. Kemarin aku dipaksa menjelaskan kenapa aku bisa sampai dipenjara? Yah, aku bilang padanya semua memanf masih belum jelas.

Aku bercerita padanya. Ujuk-ujuk di suatu malam ketika aku asyik membaca buku sastra gubahan Kahlil Gibran, segerombol polisi dari Polrestabes Surabaya diikuti Polsek Bubutan Surabaya datang mencari Wawan di alamat kos Jl. Kedungrukem IV no. 21 A SBY. Nama pemilik kos ibu Suyanti. Tetiba, segerombol polisi ibarat malaikat maut itu menggebrak pintu laksana mencabut nyawaku. Aku terkaget-kaget bukan main. Terperangah. Shock. Di malam yang tenang mendadak diriku diciduk. Kedua tanganku diborgol lalu diseret menuju mobil tahanan.

Ratu Balqis Tidak BerjilbabTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang