25

708 27 2
                                    

Tidak lega rasanya jika tidak menyaksikan langsung acara sidang menyidang itu. Kata Mas Qodir, sidang sudah berjalan tiga kali dengan terdakwa si Ana. Namun firasatku belum yakin sepenuhnya. Sehingga kuminta Mas Qodir dan tim kuasa hukum dari LSM penegak keadilan itu agar menghadirkan beberapa orang yang menurutku patut dicurigai, seperti Novie, Pak Agus, Didik mantan suaminya Mbak Lilis, termasuk juga Mbak Lilis sendiri bersama seterunya si Yuyun. Jaksa penuntun umum memenuhi semua permintaanku itu.

Aku dikawal puluhan jepretan kamera dan microfon ketika ikut memasuki ruangan sidang. Suasana sidang menjelang vonis Ana sangat ramai. Aku duduk bersebelahan dengan Mas Qodir. Di belakangku ada Novie dan Yuyun. Agak jauh sebelah meja jaksa duduk Mbak Lilis bersama teman-temannya. Mataku memutari ruang keadilan ini, mencari beberapa orang yang belum menongolkan hidungnya, dan ternyata orang yang kumaksud itu sudah duduk di belakang sendiri. "Itu yang namanya Didik," tunjuk Mas Qodir.

"Itu?"

"Iya, yang duduk sebelahnya Pak Agus. Dan itu ... Mas Wawan tahu itu siapa?" tunjuk Mas Qodir lagi.

"Sepertinya saya tahu."

"Itu adalah customer yang melaporkan Mas Wawan ke polisi."

"Ya Allah, iya, saya tahu orang itu pas dulu pertama saya disidang," jelasku.

"Orang seperti itu sungguh keterlaluan. Wong hanya sakit perut karena salah minum obat saja kok lapor polisi?!" umpatku kesal.

"Sabar, Mas. Semua ini sudah ada hikmahnya," ucap Mas Qodir menenangkan.

Ruang sidang masih gaduh. Suara riyek manusia seperti pasar sayur. Tim jaksa sudah lebih dulu duduk di tempatnya. Disusul kemudian terdakwa Ana beserta tim pengacara juga masuk. Masuknya Ana disambut riuh ocehan dan hinaan. Ana tertunduk didampingi pengacaranya.

Gemuruh ricuh para hadirin mendadak bisu ketika hakim ketua dan dua hakim anggota memasuki majelis terhormat. Acara sidang pun dimulai.

"Hadirin, dimohon tenang, sidang akan segera dimulai," kata yang mulia dengan suara seraknya.

"Baiklah, sidang ketiga hari ini tanggal 21 Desember 2013 kami nyatakan dimulai dan terbuka untuk umum!"

"Tuk tuk tuk." Palu mengetuk tiga kali.

"Saudara terdakwa, silakan menempati tempat yang sudah disediakan," pinta hakim.

Ana dengan langkah terhuyung menempati kursi panasnya.

"Hari ini kami memberi kesempatan bagi terdakwa untuk menyampaikan apa pun, termasuk jika ada keberatan sebelum nanti kami menjatuhkan putusan," ucap hakim. Suasana ruang sidang tegang. Ana menunduk lesu. Beberapa kali kulihat selembar tissu mengusap-usap matanya.

"Saudari terdakwa? Apakah Anda mendengar perkataan kami?" tanya hakim melihat Ana hanya tertunduk saja sambil mengisak-isak air mata.

Tangisan Ana semakin tersedu-sedu. Suasana sidang kembali gaduh akibat teriakan seseorang. "Dasar perempuan jahat! Hoe!" teriakan tiba-tiba terdengar. Segera kutoleh asal suara itu. Eih, ternyata suara Mbak Lilis? "Ya, elah. Ngapain dia teriak-teriak begitu?" gerutuku.

Kontan membuat hakim geram. "Mohon hadirin tenang! Mohon jangan membuat keributan! Atau silakan meninggalkan ruangan ini!"

"Duh, Mbak Lilis itu ngapain ceriwis begitu?" pelanku.

Kondisi sidang pun kembali terkendali.

"Saudari terdakwa, silakan menyampaikan sesuatu," pinta hakim ke sekian kali. Akhirnya Ana bangkit. Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, tak lain adalah sebuah kitab suci Alquran.

Ratu Balqis Tidak BerjilbabTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang