"Ah! Makanan apa ini? Kudapan kucing dikasihkan ke manusia?!" bentak Yono menendang piring milikku. Otomatis tumpah ruah ke lantai.
Aku diam saja. Biarlah si raja kejam itu memancing ribut, aku tak mau bergayung. Aku mengalah saja. Aku paling tidak suka ada keributan di pagi begini. Kupungut satu persatu sisa lauknya. Sisa selembar dadar telor dan sepotong tempe setengah gosong di atas lantai.
"Apa-apaan lho? Ngajak ribut yah?" Jupri datang membelaku. Puluhan napi yang duduk berderet di kantin semua menyorot ajang duet Jupri dengan Yono si raja blok.
"Sudah! Nggak usah membela!" Tampikku menghalangi tantangan Jupri ke muka Yono.
Aku didorong Yono. "Auwww!!!" Dadaku rasanya terpukul. Aku tersungkur ke lantai. Para napi lainnya bukan malah melerai malah menonton asyik.
Sepotong tempe yang belum sempat kuraut tadi, aku raut sekarang. Namun nahas, tanganku kurang cepat. "Auhhh!!!" Aku kembali mengerang kesakitan. Jemariku terinjak kaki si Yono.
Sementara, leher Jupri dibetot kencang oleh Yono. Badan dekil Jupri tak seimbang jika harus berhadapan dengan si raja tega.
"Hentikan!" cegahku.
"Saya tidak mau ada ribut di sini!" tambahku sembari menggebrak meja. Upaya biar aku dikira sedikit berani. Padahal pandanganku melempar ke sana ke mari mencari regu pengamanan.
"Ah, di mana para petugas negara itu? Kala dibutuhkan begini mereka tidak ada? Ah, mereka itu memang bulsyit!" kesalku dalam hati.
Beruntung, selang kemudian, Bapak Hasan, selaku kepala lapas datang terhuyung-huyung. "He! Hentikan!" bentaknya.
Mendengar gertakan Kalapas, Jupri dan Yono langsung duduk ke tempatnya semula.
"Besok, kalau terjadi ricuh lagi, remisi kalian akan kuhapus! Atau kalian berdua akan saya buang ke Nusakambangan!" Ancam Kalapas menuding muka dua preman garang itu. Sontak keduanya tak berkutik.
Setelah Kalapas pergi, tangan Yono rupanya masih gatal. Ia tidak terima ditantang jupri tadi. Ia merasa tidak dihormati. Sebagai raja blok dia merasa paling tinggi derajatnya di Lapas Sidoarjo ini.
"He, sudah! Jangan duel!" cegahku.
"Sudah Jup! Kamu diam!"
Jupri menurut. Walau kerah bajunya dikoyak-koyak si Yono, dia diam saja. Dia mengalah. Yono pun capek. Ia lantas kembali menghabiskan sarapannya.
"Saya sebagai orang yang kalian tuankan, sejatinya ingin membela hak-hak kalian! Jika setiap hari kalian makan nasi kucing seperti ini? Dijamin, keluar dari penjara kalian akan mati seperti kucing jalanan mati karena kelaparan!" terang Yono sambil mencela makanan di depannya - Nasi, telur dadar, tempe dan sayur sop - Setiap hari menunya tak jauh-jauh dari itu. Sangat sederhana. Minim. Tidak banyak gizinya. Tidak ada susu, tidak ada buah. Minum hanya air putih. Itu pun terkadang air mentah mereka masukkan dalam galon. Benar-benar sengsara hidup di lapas ini.
Acara sarapan selesai. Jam 10 pagi hingga selepas Dhuhur waktu free. Tidak ada kegiatan. Waktu luang tersebut dimanfaatkan oleh Yono si raja blok. Dia semacam pemimpin tertinggi di blok yang kami huni. Serta merta ketika siang tiba, sang raja Yono membuka rapat terbuka.
"Kalian harus setuju dengan keputusanku ini! Perbesok, kalian wajib mengumpulkan uang. Dan nantinya, tiap minggu kalian harus bayar iuran. Kalau sampai ada yang telat, saya sendiri akan mencincang kalian dengan silet ini!" ancam Yono bernada amat bengis seraya mengayunkan senjata siletnya. Hukuman pada anak buahnya tak main-main. Pernah suatu kala, ada penghuni lapas baru, melapor ke Kalapas, melaporkan bahwa Yono membawa sekardus botol miras ke dalam penjara. Tak ayal, darah merahnya mendidih. Darah putihnya mengental dan trombositnya pecah. Secepat memecut kucing pencuri ikan, warga binaan baru itu dia tarik ke dalam jeruji. Di situ Yono menyiksanya. Jeritan keji pun menguap-nguap. Setelah selesai, aku lihat dengan mata kepalaku sendiri si penghuni lapas baru itu keluar dari sel dengan kaki berdarah-darah. Kasihan, silet tajam Yono menggores-gores kedua betisnya.