Ternyata, oh ternyata. Penghuni baru ini adalah Ustadz Mujib. Guru karateku dulu sewaktu masih SMP. Aku kaget bukan kepalang. Bagaimana bisa seorang ustadz, seorang guru alim, kini nasibnya tak beda denganku? Sama-sama menikmati hotel prodeo dengan segala macam kesengsaraan di dalamnya.
Pertama, saya ragu-ragu. Makanya untuk lebih memastikan keabsahannya saya perlu mengintrogasinya lebih lanjut.
"Anda benar Ustadz Mujib kan?" cecarku serius.
Pria berjanggut putih ini duduk bersila menghadap tembok. Komat-kamit mulutnya menyenandung mantra atau entah apa yang diucapnya berkali-kali itu? Sementara, tangan kanannya menguntai cepat butiran bola tasbih dari kayu.
"Benar Ustadz Mujib kan? Yang pernah ngajar ekstrakurikuler karate di SMP 1 Lawang kan? Iya kan? Betul kan?"
Ih, aku bolak-balik tanya, namun dia tetap saja menunduk memeluk dinding. Kepalanya menggeleng-geleng ke kanan dan ke kiri, mengucap lafal "Lailaha illallah lailaha illallah" berpuluh-puluh kali. Tak sedikit pun dia sedia menoleh padaku.
"Ssstt... Wan! Jangan ganggu! Apa kamu ingin disetrum?" tegur Jupri setengah takut.
"Dia ini, kalau nggak salah adalah Ustadz Mujib. Guruku dulu ketika di SMP," bisikku ke telinga Jupri. Aku lupa bau rambut Jupri sangat tengik. Sontak lambungku meloya-loya. Dan mulutku segera menjauh dari kupingnya.
Ketika aku membisiki Jupri, pria setengah tua itu menoleh. "Akhirnya selesai juga pertapaannya," batinku.
"Yah, saya Mujib. Gurumu dulu," terangnya mengejutkanku.
"Tuh kan? Anda ini dulu guruku! Makanya wajah dan karakter Anda ini sangat khas," ungkapku.
"Bagaimana bisa Ustadz menyelam ke samudra penuh derita ini? Bagaimana bisa?" lanjutku.
"Ha ha ha ha ha." Gelegak tawa Ustadz Mujib malah melindap kesunyian sel B003 ini.
Hanya kami bertiga di sel siang ini. Lainnya sedang mengikuti latihan keterampilan di aula. Sehingga cengkrama kami dengan Ustadz Mujib pun terasa lumayan tenang.
"Dan bagaimana bisa kamu berada di sini Wan?" Ustadz mujib menanya balik.
"Loh, Ustadz masih ingat nama saya?" tanyaku.
"Ingat lah. Kamu yang dulu pernah nyuri buah mangga di depan rumahku kan?" serang Ustadz Mujib padaku.
Aku memekak kaget. Bisa-bisanya dia masih ingat zaman kecilku.
"Kok yah masih ingat sampean Ustadz?" heranku menggeleng-geleng.
"Otakku ini memorinya tak terbatas. Gerakan konyol yang membuat temanmu keguguran gigi itu juga masih ingat. Dulu katamu itu jurus setan gendeng? Yah memang benar, serangan ngawur darimu benar-benar membuat gigi temanmu rontok semua.
Ah, sudahlah, tak usah dibahas! Itu masa lalu," terang Ustadz Mujib membuatku takjub. Ternyata ingatannya masih setajam silet milik Yono.
"Ingatan Ustadz luar biasa. Kalau begitu apakah Ustadz masih ingat berapa jumlah mangga yang pernah saya curi itu?" dedasku.
Ustadz Mujib mengangguk-ngangguk yakin.
"Ketika itu mangga di depan rumahku jumlahnya ada 76 buah, setelah kamu curi sisanya menjadi 69. Jadi yang kamu curi itu 7 buah," jelasnya membuatku shock. Segitunya Pak Ustadz ini.
"Dan sampai hari ini saya belum mengikhlaskan 7 buah mangga yang kamu curi itu!" tandasnya tegas.
"Sungguh?" seruku.
"Yah, mungkin pertemuan kita di penjara ini sudah digariskan oleh yang Maha Kuasa atas peristiwa pencurian tujuh mangga itu. Pertemuan kita ini sudah ditulis rapi oleh Alqalam di atas lembaran Lauh Mahfud. Inilah takdir sebenarnya."