3

914 34 1
                                    

"Ayo senam! Ayo! Ayo!" Teriak Pak Sukardi mengobrak ketenangan deretan sel dari blok B hingga blok D. Sel yang kutempati ini bernomor B003.

"Ayoooo! Musiknya wes tak setel! Yo ayo semangat!" Teriak kencang kembali menggebrak para WBP. Aku duduk menahan rasa berat di mata. Rasa kantuk makin memeluk erat. Kedua mataku tak bisa membuka. Terpejam. Berat sekali. Beberapa kali kukucek sambil mengulik kotoran di tiap tepinya.

Teriak Pak Sukardi tak juga berhenti. Dia adalah warga binaan pemasyarakatan (WBP) senior. Gara-gara istrinya mesum dengan lelaki lain, terpaksa nafsu setannya kala itu meremukkan kepala istrinya seketika. Hukuman 35 tahun pun menjeratnya.

"Woeee...! Senam woeee!!!" Kali ini teriakan Pak Sukardi semakin kencang. Tiap gembok di gantungan jeruji dibuka sigap oleh para penjaga piket. Sipir berbaju biru itu secepat kilat membuka pintu kandang para pendosa. Mereka juga ikut berteriak membangunkan para napi.

Ada tiga gembok menyegel tiap blok. Tiap blok terdiri dari beberapa puluh sel. Tadi, ketika Subuh menggaung, petugas sigap di depan blok masing-masing, bersiap kalau-kalau ada penghuni yang tergerak bersujud di mushala yang terletak di pojok sendiri.

Aku jarang sholat. Rasanya malas. Apalagi bangun selalu kesiangan. Hanya beberapa orang saja yang terlihat aktif beribadah, seperti; Pak Sumarno, Rofi'i dan Suseno. Sepertinya hanya mereka bertiga yang benar-benar insyaf. Aku? Ah, entah. Aku bahkan lupa diriku ini siapa? Agamaku apa? Kepercayaanku apa?

Aku bangun saja. Kuping serasa panas mendengar teriakan Pak Sukardi, yah semacam teriakan orang kampung mengejar maling. Lelaki tua itu sengaja merusak suasana mimpiku tadi. Sebelum suara kagetnya membangunkanku, aku tadi bermimpi sangat indah. Bersanding dengan wanita berparas cantik. Matanya sebening embun pagi hari. Harum tubuhnya adalah melati putih ditiup angin senja. Rambutnya, busananya, cara berjalannya, anggun, seperti Ratu Balqis, permaisuri Nabi Sulaiman. Sayang, sungguh sayang, teriakan lelaki tua itu membuatku tergagap hebat. Aku pun langsung bangun dirundung rasa sesal. Oh, jengkelnya!

Setelah buang hajat, aku langsung beranjak ke halaman belakang. Aku berharap rumput hijau, udara pagi dan cahaya matahari mampu membangkitkan semangatku.

Badan mulai bergerak riang mengikuti alunan musik. Sekali lagi, pria tua itu memimpin senamnya. Sudah tua, tapi tubuhnya masih lihai meliuk-liuk aneka gaya. Kami pun bersama puluhan napi bergoyang ria di bawah terik pagi. Sejenak melupakan pertikaian dalam penjara dan sejenak melupakan dosa-dosa yang telah kami berbuat di zaman lalu. Namun, aku tetap bersikeras, bahwa aku tak berdosa! Aku berada di penjara ini bukan akibat dari sebuah dosa, melainkan karena apes tak berkesudahan. Nelangsa. Oh, nelangsanya merasakan nasib ini. Dipenjara karena sebab tidak jelas!

Selepas senam pagi, setelah keringat mengering, selanjutnya bersih-bersih halaman. Ketua pembina blok menugasku memotong rumput halaman dapur. Baru ketika di penjara ini aku layaknya tukang kebun. Bersama mesin pemotong menebas batang-batang rumput dengan cepat. Kuibaratkan rumput kering ini adalah orang-orang yang tak berhati manusia. Merekalah yang menjebloskanku. Menfitnahku. Menjerumuskanku ke dalam penjara hina ini. Kejam kalian! Kejam!

"Sudah, ikhlaslah, relalah. Menggerundal tak ada gunanya. Bukankah satu tahun lagi kau akan bebas? Bukankah sebentar lagi kau akan pulang ke rumah yang sangat kau rindukan itu? Bukankah kau tahu, bebasku masih 10 tahun lagi. Itu artinya kesabaran yang aku butuhkan ialah sepuluh kali lipat dari kesabaran yang kau miliki," kata Jupri teman se-selku. Dia dipenjara karena delapan tahun yang lalu dia berbuat keji tak beradab. Keponakan perempuannya ia pendam dalam tanah setelah ia perkosa hingga tewas. Keponakannya itu masih kecil. Seumur 6 tahun-an. Nafsu bejatnya membutakan hatinya. Ia pun diganjar 18 tahun penjara.

"Kau adalah penjahat! Apakah aku pantas menekuni nasihatmu?" bantahku kesal. Aku belum sadar, bahwa sebenarnya aku juga layak disebut penjahat.

"Semua narapidana di sini adalah penjahat, kecuali orang munafik yang tidak mau mengakui bahwa dirinya seorang penjahat," sindir Jupri sambil memilin rambut ikalnya.

Ratu Balqis Tidak BerjilbabTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang