7

497 22 0
                                    

"Apa benar sampean Mbak Lilis?" tebakku setengah tidak yakin.

Dia mengangguk.

"Uwaduh! Kok sekarang pakai cadar?!" kagetku kalang kabut. Sapu di tangan masih kupegang erat.

"Nggak usah kaget lah, Mas. Manusia itu makhluk dinamis. Pagi tidak, siang iya. Sore tidak mau, tapi malam akhirnya mau. Duduklah, Mas," ucapnya dari balik niqab.

Mataku membelalak. Terkejut-kejut. Mataku melebar-lebar tak karuan.

Aku duduk. Gagang sapu kupegang laksana Raja Sulaiman memegang tongkat menjelang wafat. Lemah.

"Eih, kamu?" sapaku pada Abdil anaknya Mbak Lilis.

Aku tersenyum asam. Setengah shock. Pikiranku mengecamuk rasa tidak percaya. Kata orang, penampilan wanita seperti ini artinya berhijrah. Aku masih ingat betul bagaimana transformasi Mbak Lilis sejak pertama kali bertemu membawa lipatan lemak perutnya ke depanku sambil bercerita bahwa Didik suaminya direbut tetangganya sendiri yang bernama Yuyun itu.

Aku jadi ingin tahu, seperti apa wajah si Yuyun perebut laki orang itu? Apa dia tidak punya hati dan otak? Atau hatinya memang beku seperti balok kayu dan otaknya bagai otak sapi? Benar-benar tak punya hati. Apa tidak terketuk hatinya melihat anak kecil si  Abdil yang kini hidup seperti halnya anak yatim? Tidak punya ayah? Ayahnya diambil orang. Dibungkus pakai karet dua, pakai cabai dua puluh lima. Pedas sekali tentunya. Perih di lidah. Iya kan?

"Mass ...?" desah Mbak Lilis menatapku hangat.

"I, iyaa, Mbak," jawabku ragu. Perasaanku aneh. Tak biasanya. Maklum, biasanya Mbak Lilis datang bercelana jeans ketat, atasan lengan terbuka dan rambut disemir berumbai-rumbai. Didempuli bedak setengah merah dan gincu menyala di bibirnya.

"Massss....???"

"Iya, Mbak."

"Masih kaget melihat penampilan baruku?"

"Emmm ..." Aku menarik senyum secara paksa.

"Nggak usah kaget, Wan! Gitu aja kaget!" sahut Ustadz Mujib dari meja tak jauh dariku.

"Eh, Abah?" responku.

"Sini, Wan, ini Aina putriku," panggil Ustadz Mujib separuh melambaikan tangannya.

Aku mendekati Ustadz Mujib malu-malu. Dia duduk berhadap-hadapan dengan Aina, putrinya yang berjilbab warna merah. Aku tersenyum renyah. Alhamdulillah, betul ini Aina ternyata. Hatiku berbunga-bunga.

Tanpa sungkan, aku ulurkan tangan padanya.

"Saya Wawan, teman satu sel Abah," sapaku.

"Saya Inayatul Mukayadah. Biasa dipanggil Aina," tangannya sembari menelungkup ke depan. Jabat tanganku otomatis ia tolak.

"Plek!!!" Teblek pelan Ustadz Mujib menyingkirkan tanganku dari depan Aina.

"Apa salahnya aku menjabat tangan wanita?" gerutuku dalam hati.

Kulirik ekspresi Mbak Lilis seketika. Dia menunduk setengah melengos. Entah maksudnya apa melengos seperti itu?

"Ya, sudah Abah, saya mau kembali ke meja situ," kataku. Lemparan pandanganku terus terpaut pada Aina. Ah, anggunnya. Jilbabnya memendar pesona. Meronakan jiwa Muslimah sesungguhnya.

Aku kembali menghadap Mbak Lilis. Abdil anaknya sibuk mengulik mainan mobil di tangannya.

Mbak Lilis memancing obrolan serius padaku.

"Sebentar lagi sampean bakal bebas, Mas. Saya senang jika sampean bisa bebas."

"Iya, Mbak."

"Rencananya Mas Wawan setelah bebas mau ke mana?"

Ratu Balqis Tidak BerjilbabTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang