Takbir hari raya menggelora. Allaaaahu akbar ... Allaaaahu akbar ... Allaaahu akbar. Laa ilaaaha illallaaaahu wallaahu akbar. Allaaahu akbar walillaahil hamd.
Gema takbir menggaung. Menggoncang arsy. Kebesaran Allah menjamah pelata angkasa. Suara itu merengkuhku. Merontokkan sendi-sendi kenestapaan kalbu. Kokohnya angkuh ini begitu saja runtuh. Berguguran satu persatu oleh panggilan agung yang menalun sejak tadi Subuh.
"Ayo! Cepat! Cepat! Semua warga binaan harap segera menuju lapangan! Sholat Idul Adha akan segera dimulai!" Seruan petugas sipir menggiring ratusan penghuni lapas menuju lapangan belakang.
Aku masih tenang di depan cermin. Peci putih kutahtakan indah di atas kepalaku. Sarung kotak-kotak dan baju koko warna putih. Tak lupa kusahut sajadah tebal dari balik lemari. Bersama Jupri dan Ustadz Mujib, kami bergerak menuju lapangan yang tepat berada di belakang blok B.
Sholat Idul Adha.
Ratusan napi berjejer rapi memenuhi shaf masing-masing. Kami bertiga mengambil duduk di shaf kedua. Sajadah kuhampar. Jlep! Duduk manis.
Jupri di sebelah kiriku dan Ustadz Mujib di sebelah kananku. "Eih, Abah? Sholatnya kok nggak di dalam masjid saja ya? Bukankah sekarang masjidnya luas?" bisikku ke telinga Ustadz Mujib.
Suara gema takbir terus menderu kencang. Jawaban Ustadz Mujib tidak terlalu terdengar jelas di telingaku. "Ini sebagai syiar Islam, Wan. Biar semua orang tahu bahwa Islam itu meriah. Islam itu ada. Biar Islam tidak melulu diakui di KTP. Biar dakwah terlihat ramai dari luar."
Allaaahu akbar... Allaaahu akbar...
Seruan maha besar pada Sang Pencipta terus dilantunkan sambil menunggu jamaah berkumpul semua.
Bibirku tersenyum haru. Setarik udara kumasukkan ke hidung lantas kuhempas kuat-kuat. Tiga kali hari raya Idul Adha aku tidak pulang. Rindu, jelas rindu. Rindu pada wanita yang sembilan bulan mengandungku lalu menyusuiku. Bertahun-tahun pula menyekolahkanku hingga diriku bisa menyandang gelar sarjana pendidikan Islam. Wawan Kurniawan, S.pdi. Sarjana palsu bagiku. Aku tak pantas menyandang kehormatan itu. Aku malu.
Oh, Ibu. Anakmu ini rindu. Dulu, setiap selesai sholat Idul Adha, Ibu mengumpulkan kami sekeluarga. Aku sebagai anak pertama, Imah anak kedua, ada dua lagi adikku Qurotun dan Salsabilah. Ketiga adikku adalah perempuan. Imah bersama suami dan satu anaknya. Kami makan besar di belakang rumah. Beber terpal plastik di bawah pohon rambutan. Rindang. Semilir angin menyapu pelan. Sangat nyaman dan sejuk. Kami sekeluarga makan beramai-ramai. Terkadang tetangga, keponakan, pakde dan budhe juga ikut makan bareng. Otomatis acara makan bersama bertambah meriah.
Nasi liwet digeletakkan di atas daun pisang lebar. Sambal terasi, ikan asin, penyetan terong dan kerupuk jangan sampai kelupaan. Kami makan bersama-sama dengan perasaan gembira sambil bercanda ria. Setelah puas hingga perut membuncit, air segar dari kendi menutup kenikmatan makan besar itu. Acara selesai. Acara makan bersama setiap hari raya Idul Adha tersebut begitu mengiang di benakku.
Kini aku hanya bisa mengenangnya.
Beberapa bulan lagi mungkin aku akan bebas. Tapi setidaknya bebasku adalah beban. Aku harus menyiapkan diri. Setelah bebas, apa rencanaku? Harus ke mana diriku? Pulang? Atau tetap merantau ke Surabaya mencari pekerjaan lagi? Aku belum tahu.
Usia 34 tahun. Sarjana pendidikan Islam bekas tahanan penjara. Siapa yang mau menerimanya? Pikiranku gusar tanpa ampun. Aku tidak yakin masa depanku akan cerah. Ya Allah, aku pasrah. Terserah Engkau mau menjadikanku seperti apa, terserah! Toh, Engkau yang menciptakanku. Toh, Engkau sendiri yang menghidupkanku tanpa kuminta. Biarlah Engkau yang mengurusku, mengarahkanku kemana pun jalanku setelah ini. Opo jare Pengeran.