Aku grogi. Jantungku berdenyut cepat. Di sampingku adalah seorang wartawan investigasi. Mencari informasi, menyelidik dan nanti akan memuatnya ke media.
Setelah cukup basa-basi berkenalan. Mas wartawan yang bernama Qodir ini menorehkan tanda tangan lalu menyodorkan padaku. "Jika setuju? Mas Wawan, tanda tangan dulu. Bersedia semua informasi saya tulis juga saya rekam," ucapnya.
"Mmm ... baiklah. Saya setuju," ungkapku mengangguk gugup.
Satu tarikan napas panjang. "Huuummmmm ... hemmmmmmm...."
Akhirnya kegugupan sedikit tenang. Dada lega. Aku tersenyum. Santai.
Mas Qodir ini perawakannya masih muda. Kutaksir usianya 38 tahun atau mungkin 39-an. Dia reporter buletin mingguan di Jawa Timur. Namanya buletin ASASI. Menurutnya buletin itu fokus pada kasus-kasus kriminalitas dan hak asasi manusia. Dia tertarik mengorek peliknya hidupku ini.
"Sebelum saya wawancarai, Mas Wawan silakan menulis biodata lengkap di formulir narasumber ini. Jangan lupa dibubuhi tanda tangan juga," pintanya.
Dua menit mengisi form data diri. Nama, alamat, riwayat pendidikan, pengalaman dan lain sebagainya, mirip curiculum vitae guna melamar kerja.
Wartawan ini mulai mencecarku. "Apakah Anda memang benar pernah dipenjara? Kenapa Anda bisa sampai terjeblos ke dalamnya?" tanyanya.
"Mmm ... iya betul, saya baru bebas setelah empat tahun mengeram dalam biliknya. Tentu, tanpa alasan yang adil. Tiba-tiba saja saya diciduk polisi, disidang singkat, lalu dikerangkeng seperti hewan di kebun binatang."
"Dakwa'annya seperti apa?"
"Saya dilaporkan oleh seorang konsumen. Saya, kan, bekerja di klinik cinta sebagai konsultan atau semacam customer care. Yah, sejenis usaha pencarian jodoh dan konsultasi keharmonisan rumah tangga, begitu. Si konsumen ini sakit keras setelah meminum obat dari saya, yaitu obat penggelontor lemak perut. Padahal resep awalnya kapsul kolagen wajah. Setelah diteliti, isi kapsulnya malah obat urus-urus itu. Nyatanya, ketika saya beri resep, di nota betul-betul serbuk kolagen. Eh, malah isinya obat pembasmi lemak? Heran binti aneh kan namanya?"
"Obatnya itu langsung Anda berikan pada customernya atau bagaimana?"
"Tidak."
"Bagaimana kronologis customer mendapat obat di klinik Anda?"
"Saya menulis resep di faktur secara manual, lalu saya serahkan ke atasan, meminta approval. Setelah itu faktur masuk ke ruang obat atau produk. Seingatku, ketika itu di ruang obat hanya ada dua rekan saya yaitu Novie dan Ana."
"Apa Anda curiga pada keduanya?"
"Sedikit curiga sih. Tapi, apa mungkin mereka tega berbuat begitu pada saya? Karena keduanya sangat baik pada saya."
"Tidak menutup kemungkinan. Baik tidaknya orang jahat itu terkadang sulit ditebak. Ini titik problemnya. Kunci kasus ini sebenarnya ada di mereka berdua. Ana dan Novie ya namanya tadi?"
"Betul."
"Bagaimana bisa faktur tertulis obat kolagen, tapi yang diterima customer obat penggelontor lemak? Ini penting. Itu kuncinya," ucap Mas Qodir bermimik serius.
"Betul," kataku lagi.
"Saya akan membuat jurnal investigasi, Keadilan Bagi Wawan. Mungkin itu eagle dalam project saya ini. Saya sudah berpengalaman menguak fakta mencengangkan tentang pembunuhan atau kasus tipu menipu yang sedang marak terjadi saat ini. Semoga project saya ini berhasil."
"Amin ..."
Wartawan muda ini menyelidikku dengan puluhan pertanyaan. Dia detil. Dia mengulik aktivitas pekerjaanku selama masih bekerja di klinik cinta, hingga urusan pahitnya asmaraku dan pengalaman legit-getir di penjara. Semua kuceritakan padanya. Termasuk soal ibuku.