Tanganku gemetar. Dadaku kempas-kempis. Dahiku membulir keringat dingin. Ada rasa menyesal. Tapi mau bagaimana lagi? Sepasang cincin emas ini terpaksa kugadaikan. Nominal tabunganku hanya tersisa 3 juta rupiah, itu khusus untuk biaya obat Bapak. Jadi, aku tidak mau mengganggu tabungan itu.
"Maafkan aku, Balqis. Terpaksa kugadaikan sepasang ikatan cinta kita ini. InsyaAllah nanti jika sudah ada rezeki, akan kutebus kembali benda ini," pelanku dalam hati.
"Kalau cincin dua segini cairnya cuma 900 ribu, Mas," jelas si tukang gadai emas di pasar Lawang.
"Hanya 900 ribu?!" seruku ketar-ketir. Aku menelan ludah pahit.
"Ya Allah! Cuma segitu, Pak?"
"Lah, yah iya! Kalau tidak mau? Yah, jual sana!" tunjuknya ke arah deretan jual-beli emas pinggir jalan.
"Ya, sudah Pak. Nggak papa. 900 ribu saya terima!"
Lalu aku pun kembali pulang dengan perasaan nelangsa. Itu adalah sepasang cincin emas yang kami gunakan mengikat tali asih sehari sebelum Balqis tewas kecelakaan. Yang satu buatku dan yang satunya lagi buatnya. Oleh keluarganya cincin itu dikembalikan lagi padaku setelah dia dimakamkan. Sengaja tidak aku pakai benda itu. Lelaki memang tidak diperbolehkan memakai cincin emas. Kata ibu, bisa menyebabkan kemandulan. Jadi hanya bisa kusimpan dalam almari. Empat tahun berlalu, sepasang cincin itu masih tersimpan aman di kamar.
"Billah? Ayo ke kita pasar!" ajakku penuh semangat.
"Sekarang?" sahutnya.
"Lah, yah iya toh! Mintamu tahun depan?"
"Ke pasar Lawang?"
"Yah, iya lah emang di Lawang ada pasar berapa?"
"Oala, Mas. Tak kira aku mau diajak ke mall MOG?" cetusnya.
"Masih sempet-sempetnya pengin ke mall? Bapakmu itu sakit-sakitan! Ibuk hilang! Imah minggat! Sik kober-kobernya kowe iki ngemall-ngemoll ae! Hemmm!" kesalku menyelutuk kepalanya.
"Auh! Duh, ini kepala jangan dikosek! Ini isi otak, Mas!" ucap Salsabillah gemas.
"Wes! Ayo berangkat!" ajakku lagi.
"Tek tek etek etek etek etekkkk..." Suara knalpot motor bututku.
"Loh, ayooo, kok malah kamu ngelamun?!"
Salsabillah malah duduk tercenung di teras.
"Malah mewek lagi?" kataku menghampirinya. Salsabillah cemberut.
"Kenapa sih? Jangan manja-manja gitu, ah! Kita sekarang nggak ke mall dulu. Mas ini mau belikan etalase buat jualan bajumu!" jelasku padanya.
Billah menatapku cepat. "Beneran, Mas?"
"Benar! Wes ayo berangkat!"
"Ye ye yeah! Asyik! Mas Wawan baik dec sama saya!" Rona ceria meletup-letup. Tubuh gemuknya langsung meloncat ke jok motorku. "Blekkk..." Begitu suaranya.
"Pessssssssss..." Suara ban kempes.
"Ya, elah! Bannya bocor?" kataku menoleh ke arah ban belakang.
"Walah, kok bocor, Mas?"
"Kamu sih langsung mak breg begitu saja! Bodi gajah nggak pelan-pelan sih naiknya?"
"Ayo, sekarang dorong! Kita tambal dulu ke rumah Pak Doel!"
"Hemmmmm..."
***
Setelah sampai di pasar Lawang, aku membeli etalase bekas seharga 700 ribu. Cukup murah. Ukurannya besar. Isi tiga rak, cukup menampung setumpuk barang-barang jualannya.