Seusai sholat Jumat, hati gemetar syahdu. Gemerisik kalbu seakan berkata; syukuri harimu, keadaanmu, rezekimu, kesehatanmu, karena bisa bernapas lega saja termasuk kenikmatan luar biasa.
Munajat puja-pujian kuhatur pada Allah taala. Kalau bukan karena hidayah-Nya mungkin leherku sudah putus dijerat tali kawat. Untung mentalku kuat menghadapi cobaan ini. Andai saja tidak kuat, mungkin kisahku sudah menjadi berita di koran lusuh, bahwa seorang narapidana tewas bunuh diri dalam selnya.
"Yono! Dani! Warto!"
"Sini!" panggilku.
Ketiga orang itu kupanggil dari kejauhan.
Mereka mendekat. "Ada apa kamu panggil-panggil?"
"Ini saya bawa nasi kotak buat kalian! Makanlah!" kataku memberi mereka nasi kuning untuk makan siang.
"Ada acara apa kamu bagi-bagi makanan? Tumben? Kamu tidak meracuni kami kan?" curiga Yono si preman bertato.
"Kalau pun kamu mati karena diracun, matimu bukan karena racun, Yon. Matimu adalah takdir yang sudah ditetapkan! Makanlah! Jangan berpikir macam-macam pada saya!"
Aku pun segera meninggalkan mereka bertiga. Kembali ke kamar korve; Merapikan baju, barang-barang pribadi, buku-buku dan lainnya. Selanjutnya menemui Kalapas di ruangannya. Semua proses administrasi sudah kuselesaikan. Kini tinggal berpamitan pada Pak Masyur tak lupa juga pada Nona Ayu.
"Nona Ayu?"
"Iya, Mas?"
"Maafkan saya yah, Non. Jika selama di Lapas saya banyak pola tingkahnya. Izinkan Wawan berpamitan."
"Iya. Sama-sama, Mas. Sukses yah di luar sana."
Aku mengambil napas.
Sesak.
"Ini nomor handphone saya, Mas. Sering-sering sms atau telepon saya yah, Mas," ucap Nona Ayu memberiku sesobek kertas. Sementara tangan kirinya memegang tanganku. Dia menatapku sambil tersenyum renyah.
Nyawaku seolah terlepas.
"Pa, pasti Nona Ayu. Jika berkenan, tiap malam Wawan akan menelepon Nona Ayu," sahutku gemetar disertai salah tingkah.
"Ayu doain semoga di luar sana Mas Wawan mendapat mata pencaharian yang cocok, menatap masa depan lebih baik dan tentunya cepat dapat jodoh yah."
"Jodoh?" tanyaku melongo.
"Iya, Mas. Jodoh. Jodoh itu adalah pasangan hidup yang bisa menemani sampai kakek nenek."
"Amin, Non. Semoga kelak Wawan bisa dapat jodoh secantik dan sebaik Nona Ayu yah."
"Hi hi, bisa aja kamu, Mas."
"Non?"
"Yah, Mas?" desah Nona Ayu membuat urat nadiku luruh. Tubuhku gemeblek lemas. Lunglai.
"Wawan boleh mengungkap kata-kata pada Nona, kan??"
"Kata-kata apa, Mas? Bukankah dari tadi Mas Wawan sudah mengucap banyak kata?"
"Tapi ini rahasia loh, Non," ungkapku seraya menoleh ke kanan ke kiri ke belakang. Memastikan hanya kami berdua yang berada di ruangan ini.
"Se, sebenarnya," ucapku terseot-seot. Lidahku kaku. Bibir terasa berat.
"Ada apa sih, Mas? Pakai sungkan-sungkan segala?" Heran Nona Ayu mencubitku lembut. Tatapan matanya mencengkram wajahku. Paha dan betisku gemetar melihat diriku berdiri di atas gedung setinggi 100 lantai. Ya Allah!
"A, aku. Sebetulnya."
Mulutku berhenti bicara.
Jantungku tak terasa denyutannya.