Biarlah sementara urusan Mbak Lilis tidak kupikirkan. Aku bimbang harus mengambil sikap seperti apa padanya. Isyarat mengabarkan sepertinya dia menyukaiku. Tapi tidak tahu lagi jika ada motif lain. Wallahu a'lam saja.
Tubuh cungkringku menghadap tegak ke Masjid Nurul Huda, masjid bercat putih di pojok Lapas Sidoarjo ini. Kata Abah, masjid adalah tempat menuangkan segala gundah gulana. Di masjid pula semua resah bisa ditumpahkan sepuasnya. Segala muara kesedihan, kebingungan dan kegusaran, kata Abah, menghilir semua ke rumah Allah ini.
Dengan pelan kumasuki rumah suci ini. Pukul 13.00 tepatnya. Di luar, terik mentari memanggang ubun-ubun manusia. Tidak ada kepala yang berani nongol keluar. Hampir semua narapidana melindungkan dirinya dalam bilik-bilik sel tahanan.
Lututku tertunduk di atas hamparan keramik putih bersih. Menghadap mihrab penuh cinta. Semibak angin meniup lembut dari celah-celah jendela. Kubangan kubah nun megah serta empat tiang besar semakin menggagahkan masjid yang baru direnovasi ini.
"Ya Allah, aku datang pada-Mu. Aku tidak tahu harus berkata apa pada-Mu. Kau yang lebih tahu tentang diriku dari pada diriku sendiri. Aku tidak tahu akan hidup berapa lama lagi di dunia ini. Aku pun tidak paham akan ke mana kedua kaki ini selanjutnya melangkah.
Sebentar lagi diriku mungkin akan menghirup udara segar di luar sana. Tanggung jawab mengurus masjid ini bagiku adalah peringatan. Mungkin karena diriku terlalu menjauhi-Mu maka kau embankan tugas korve ini padaku.
Ya Allah, maafkanlah tubuh berlumur lumpur ini. Bersihkanlah jiwa dan jasadku ini, Tuhan...
Aku tahu tugas dari kalapas ini hanyalah sementara. Setelah aku bebas, aku pun akan keluar dari sini. Dan setelah itu aku tidak tahu harus kemana diriku berkelana?
Tuntunlah selalu aku ya Allah...
Jika Kau masih berkenan, tolonglah diriku. Berilah aku tahu siapa orang yang telah membuatku terjeblos ke jurang dina ini ya Allah. Kawah penuh dosa ini. Lembah kutukan penuh penyiksaan ini.
Ya Allah, aku pasrah."
Tak terasa hatiku gerimis.
"Wawan?"
Lirih suara memanggilku dari belakang.
Aku menoleh pelan. Pantatku masih menempel lekat di atas sajadah.
"Abah?" sahutku juga lirih.
"Alhamdulillah, Wan. Akhirnya kamu berubah sekarang?" kata Abah tersenyum pulas.
"Berubah gimana maksudnya, Bah? Berubah jadi power rangers?"
"Ha ha, ya Nggaklah, Wan! Abah lihat kamu pakai kopyah, baju koko dan sarung begitu rasanya hati Abah kok trenyuh," ungkapnya.
"Trenyuh gimana bah?"
"Hmm.. ya begitulah, Wan. Abah jadi ingat mantan suaminya Aina."
"Loh, Aina jadi cerai, Bah?"
"Jadi, Wan."
"Loh, alah, kasian Aina ya, Bah. Masih muda tapi sudah menjanda."
Abah mengerut dahi keras. Dadanya mengembang mengambil napas lalu ia hembuskan kuat-kuat.
"Aina tidak mau dipoligami, Wan. Walau suaminya seorang pegawai kapubaten yang kesehariannya penuh kecukupan namun wanita mana yang rela dimadu?"
"Madu kan manis, Bah? Legit?" sanggahku.
"Beda, Wan. Madu dari suami adalah empedu bagi istri. Yah, kalau madu tawon hutan bisa dibuat obat? Lah kalau madu dalam artian poligami? Bukan obat, jadinya malah racun."