Hembusan air condisioner menerpa lembut. TV 32 inch menyiarkan channel Haramain, Makkah al-mukaromah, lantunan ayat sucinya terdengar jernih. Kumparan manusia memenuhi masjid terbesar di dunia itu.
Punggung kusandarkan santai ke dinding. Kaki bersila enjoy. Kami berdua bertelekan di atas karpet empuk.
Seutas tissu kuberikan padanya. "Non, jangan sedih yah. Lelaki di dunia ini jumlahnya miliaran. Jangan khawatir pokoknya. Pasti ada yang tulus mencintai Nona Ayu kok," kataku lembut penuh perhatian.
Kulihat wajahnya merembes air duka. "Seolah percuma, Mas. Segunung pengorbanan yang kuberikan padanya tidak ada artinya sama sekali. Cintaku setinggi langit pun runtuh. Cinta sedalam bumi pun terasa dangkal. Tidak ada gunanya, Mas."
"Tapi Nona Ayu masih mencintainya, kan?" tanyaku penasaran.
"Saya ingin belajar melupakannya, Mas," ungkapnya menegakkan bulu romaku.
Langsung kubenahi rambut lurusku. Wajah kudongak tegak. Aliran darah memompa semangat. "Saya akan bantu Nona untuk melupakannya!" desirku penuh semangat dalam hati.
"Semua itu terjadi karena kebodohanku, Mas. Kenapa aku bisa mengenalnya, kenapa aku bisa mencintainya, kenapa aku bisa terjatuh ke lubang hinanya sehingga takdir cintaku bisa seburuk ini?"
Nona Ayu menceritakan awal mula pahit hidupnya bersama si bule bajingan itu.
"Ketika senja menerawang. Ketika deburan ombak pantai Kuta membuncah busa-busa indah. Selepas sembahyang di Pura Ungan, aku kembali menepi ke bibir pantai, melarung sesaji sisa upacara Nangluk tadi pagi. Upacara itu biasa digelar tiap tahun tepat waktu Sasih Kajeng Kliwon. Bertujuan menetralisir alam dari hal-hal negatif seperti bencana alam atau wabah penyakit.
Badanku masih diselimuti kebaya putih, bawahan kamen kuikat kuat dengan kain bulak pasang warna jingga, sekuntum kemboja menyelip di atas telingaku. Aku merasa anggun sore itu.
Dalam hening menyaji doa pada alam, jiwaku hikmat penuh ketenangan. Melepas pujian pada Sang Hyang pada gelombang lautan.
Rumahku tak jauh dari Hard Rock Cafe. Aku punya beberapa toko aksesoris di sepanjang jalan Legian Kuta. Juga beberapa cottage di ujung pantainya.
Ayahku seorang pemangku desa adat Kuta. Begitu juga ibuku sangat dihormati oleh warga sekitar. Awalnya kedua orang tua dan keluargaku tidak setuju jika aku menikah dengan Robert, tapi Robert dengan kelembutan hatinya mampu meluluhkan hati keluargaku. Dia sering ikut ke Pura, belajar gamelan Bali dan sangat menghormati adat istiadat kami. Akhirnya kami pun menikah atas dasar saling cinta satu sama lain.
Namun beberapa hari sejak menikah, goncangan bahtera rumah tangga mulai terendus. Sore itu Robert menjemputku di pantai Kuta dengan motor matic. Dia meneblek pundakku, bilang bahwa ibunya yang tinggal di Sydney itu sakit keras. Membutuhkan biaya operasi tidak sedikit. Aku pun segera pulang bersamanya.
Sesampai di rumah, Robert menunjukkan foto ibunya yang tengah berbaring lemah di atas dipan pesakitan. Robert butuh dana 50 juta untuk biaya awal perawatan rumah sakit. Tanpa pikir panjang, aku langsung mentransfer sejumlah uang ke rekening keluarganya. 60 juta, aku beri lebih.
Seminggu berlalu, kondisi ibunya membaik. Aku sangat bersyukur. Asal suamiku bahagia aku rela membantunya tanpa pamrih. Namun, Robert kembali meminta pinjaman untuk biaya operasi kedua, pengangkatan sel-sel kanker dari tubuh ibunya. Kali ini butuh 150 juta. Aku terkejut ketika dia minta dana sebanyak itu. Suamiku meyakinkan, dia berjanji semua pinjaman akan segera ditransfer balik oleh kakaknya yang bekerja di Amerika.
150 juta pun melayang ke rekening keluarganya. Itu pun dana usaha cottage dan toko aksesoris yang kukelola. Semua itu aku korbankan atas dasar dharma dan cinta kasih padanya. Sang Hyang Widhi Wase pasti kembali memberiku kebaikan asal aku tulus membantu sesama.