Bagian 22

34 0 0
                                    

Aku sudah pulang kerumah Reyhan sejak kemarin. Sejak kejadian saat aku meminta Reyhan untuk menceraikanku, tak ada lagi percakapan yang kami lontar kan. Bahkan didepan orang tua kami.

Tubuhku mengurus, karna nafsu makan ku yang tak pernah datang. Aku tak pernah keluar dari kamar ini. Bahkan saat seseorang mengajakkupun, aku tak ingin keluar.

"Hay" aku hanya diam, tak berniat untuk menengok sedikitpun.

"Sampai kapan kau akan seperti ini Ana? Aku merindukan mu yang dulu. Kau yang slalu menyapaku saat pagi. Aku yang mengantar mu saat sekolah. Kau yang slalu tersenyum, tak seperti sekarang. Hanya diam di kursi roda dan tak ingin berbicara dengan siapapun. Aku merindukanmu" Reyhan berjongkok di depanku. Dapat kurasakan air mata menetes di tanganku saat ia genggam.

"Maaf Tuan. Ada sekelompok anak SMK yang mencari Nona dan Tuan. mereka bilang mereka teman sekolah Nona Ana " Jeni yang tiba-tiba menghampiri kami.

"Langsung bawa mereka kesini. Aku mengundang mereka kesini untuk menemani Ana" ucap Reyhan. SeBelum Reyhan pergi aku mencekal tangannya.

"Bawa aku ketempat tidur" ucapku yang langsung dihadiahi senyuman oleh Reyhan.

"Ana? Lu baik-baik ajakan?" Putri kini langsung menghampiriku dan memelukku disusul dengan yang lain, saat Reyhan mundur. Aku hanya membalas ucapan Putri dengan senyuman.

"Hay" ucap Dico saat mataku menatap matanya.

"Cieee. Kayanya mulai ada cinta yang tumbuh nih diantara Januar dan Ana" Febri, siapa lagi jika bukan dia, wanita yang paling heboh.

Aku mengobrol lama dengan mereka, hingga mereka pergi keluar sebentar dan menyisakan aku dan Dico berdua.

"Gimana keadaan lu?" katanya.

"Like you see" kataku pelan.

"Ada banyak mata pelajaran yang lu lewatin. Lu mau minjem buku gua?"

"Gua bisa minjem buku yang lain"

"Ehem" tak perlu ku katakan lagi siapa yang berdeham Reyhan.

"Bisa tinggalin gua sama Ana bentar? Gua mau suapin dia makan" kata Reyhan.

"Gua keluar dulu" belum ia  berdiri aku menahannya.

"Stay here don't go anywhere"

"Tapi kakak lu?" Ku tatap matanya menyiratkan bahasa isyarat memohon agar tak pergi. Karna jujur aku masih tak ingin melihat Reyhan.

Merasa mengerti dengan tatapanku. Dico menghampiri Reyhan.
"Biar gua aja Bang, gapapa kan?"

"Titip Ana yah, gua keluar" Reyhan keluar dengan menatap mataku. Namun aku tak menatapnya. Membuang tatapanku kearah lain.

Air mataku mengalir begitu saja. Isakanku mulai terdengar hingga Dico mendekati ku dan mengusap kepalaku.

"Kenapa? Hey, jangan nangis" namun isakanku semakin mengeras. Beruntunglah karna kamar yang ku tempati memiliki kedap suara. Tanpa sadar aku sudah berada di pelukan Dico.

"Gapapa. Nangis aja. Tapi abis ini lu makan yah. Gua tau lu laper" masih sibuk dengan tangisanku. Dico kini mengusap punggungku seolah-olah menenangkan tangis ku. Dan terbukti kini aku mulai tenang walau aku sesegukan.

"Makan yah" ia menyendokan bubur tersebut dan langsung ku lahap tanpa banyak bicara.

Sesendok demi sendok, aku memakannya hingga bubur tersebut habis. Walau sebenernya eneg yang kurasa.

"Dia suami gua" kataku terus terang.

"Dia siapa?"

"Reyhan, yang lu liat tadi sama yang nolongin gua waktu lu nabrak gua"

ARIANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang