.
.
Terhitung dua hari sudah lewat setelah kejadian di bursa saham. George Harcourt masih sibuk seperti biasa. Malam ini ia adalah seorang tamu di acara makan malam seorang Viscount. Masakan-masakan negeri timur dari seberang samudera telah terhidang di atas meja, pilihan resepnya mengikuti selera kedua tuan rumah. Masakan berbumbu, daging yang tebal, rasa yang tajam, bentuk-bentuk unik dalam pinggan perak. Untungnya, minuman yang dituang dalam gelas-gelas tamu adalah anggur yang familiar, dipilih langsung oleh nyonya rumah dari persediaan keluarga.
Beberapa wajah familiar menyantap hidangan itu—Ibunda Richard Melville dan anak perempuannya saling bercengkrama dengan sang Nyonya. Seorang penulis puisi dan dua orang pelukis yang dipatroni sang Viscount berada di ujung paling kiri. Sedangkan Lord Codrington tengah menenggak anggur tepat di hadapan George. Pembicaraan berputar pada topik-topik yang aman, kebanyakan tentang pujian akan keeksotikan menu malam ini. George sendiri lebih banyak diam dan menatapi piringnya saat makan, hanya menyahut seperlunya jika ditanya.
Melirik sekali pada Codrington yang tengah asyik menyantap kambing, punggung George merunduk bagai terbebani.
Kemarin, Arthur Harcourt pulang ke Hampshire dengan kereta kuda yang disewa murah di tempat persewaan. Diktator itu telah pergi, tetapi Harcourt tak kunjung lega, berkat ultimatum yang ditinggalkan: Jangan membuang waktu. Kau sudah terlalu tua untuk ukuran omega. Seharusnya, di usia setua ini, sudah ada anak ataupun suami di sampingmu.
Saat itu George hanya bisa mengangguk-angguk mengiyakan, sekalipun tak berani memberitahu musim kawin pertamanya memang terlambat. Nasehat-nasehat pedas itu bukan masalah, tetapi yang membuatnya gentar adalah kata-kata setelahnya:
Dua minggu lagi, saat kau pulang, seharusnya Lord Codrington menghadap di depanku.
Dari situ, ada suatu batas yang ditarik. Arthur Harcourt menginginkan calon sekelas Codrington, tak boleh kurang. Tentu saja, jika dipikir, kenapa harus kurang jika ada yang lebih? Tetapi hal ini benar-benar menguras mental; George Harcourt bahkan tak yakin apakah Lord itu akan serius dengannya atau tidak. Ketertarikan, mungkin ada, tetapi belum tentu maksud menikah pun ada. Seharusnya ia tidak melaporkan apa-apa terkait Codrington dalam surat-suratnya.
Dua minggu, bagaimana caranya mendesak seorang alpha untuk melamarnya dalam waktu dua minggu? George baru setahun menjadi omega, ia tak tahu taktik-taktiknya.
Mendesak. Melamar. Perburuan suami. Lucu. Sekarang mereka jadi hal-hal yang mengganggu. Padahal saat menjadi omega tahun lalu, George sudah bersumpah untuk tidak mengeluh.
.
.
Selesai makan, acara berpindah ke ruang rekreasi. Jumlah tamu malam ini tak banyak, mungkin karena sifatnya lebih pribadi dibanding pesta dansa biasa. Jamuan makan malam yang diadakan dalam rangka perayaan akan kehadiran anak ketiga sang Viscount. Harcourt melihat sang nyonya rumah bercengkrama dengan para lady sembari bermain kartu, perutnya belum benar-benar membusung—kehamilannya masih bulan-bulan awal, ditambah korset. Di dekat meja kartu, ada meja kecil lain berisi sepiring muffin dan celupan.
"Mr. Harcourt, giliranmu."
George membuang satu kartu tanpa strategi. Sedari tadi pikirannya mengawang-ngawang pada sosok Codrington di meja kartu yang lain, hingga tak memperhatikan permainan di mejanya sendiri. Tidak heran tumpukan koin taruhan di hadapannya berkurang banyak. Tidak heran pula di putaran berikutnya. Harcourt jatuh di jurang kebangkrutan total, dan koin-koin itupun berpindah tangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Breeding Ground [Victorian Omegaverse/NOW ENDING]
Romance[OMEGAVERSE BL, VICTORIAN ERA] #1 OMEGAVERSE . . Ini adalah cerita tentang zaman Victoria, di mana manusia terbagi menjadi alpha, beta dan omega. Di kalangan bangsawan, seorang pria omega adalah harta yang tak ternilai. Setelah bertahun-tahun tampil...