Breeding Ground 19

3.1K 474 88
                                    

.

Breeding Ground 19

"Men...cintai?" Condrington mengeja kata itu hampa. Cin-ta. "Tetapi bukankah—bukankah Simon Whiston saat itu hanya pelayan?"

"Benar. Dia memang hanya pe­layan. Selain itu, dia juga seorang alpha dan aku masih beta."

Suatu pencerahan menyinari perta­nyaan George. Sekarang semua jelas. 

"Karena itu, bertahun-tahun aku menyangkalnya. Berta­hun-tahun aku menampik bahwa di hatiku telah tumbuh suatu bunga, yang lambat kusadari, bunga yang mekar sempurna saat kupergoki mereka berdua di tem­pat penyimpanan kereta! Selama ini kuanggap sikapku yang tak mulia itu demi kepentingan Emily, tetapi hal yang sebenarnya lebih gelap dari itu."

Benar. Terdapat sesuatu yang tak murni dari keinginannya untuk melindungi Emily. Waktu itu, mungkin kecemburuan dingin yang telah mendorongnya melakukan hal itu. Berbeda dengan George, Emily berani memupuk dan menyiangi bunga di hatinya, dan mengakui mawar yang telah tumbuh seba­gai miliknya.

Emily cantik dan begitu dilindungi ayahnya. Mengapa ia juga bisa mendapatkan hati Simon tanpa memikirkan resiko?

"Apa... kau masih mencintainya sampai sekarang?"

"Bunga itu sudah tak ada." jawab George. "Bunga itu sudah tak ada, tetapi ada akar yang terting­gal di tanah."

Waktu terasa berjalan lama. George hanya bisa menebak sekarang jam berapa dari bebauan di udara, terutama dari bau ragi yang dibeli kokinya di tempat pembuatan anggur terdekat. Ragi itu akan digunakan untuk membuat roti manis yang akan disajikan untuk waktu minum teh. Sang koki yang be­rasal dari Staffordshire biasa me­manggang roti pada jam dua siang.

"Pulanglah, Milord." usir George pelan namun pasti. "Istrimu pasti lama menunggu di rumah."

.

Kepergian Codrington diantar kepala pelayan. Dari salah satu jendela ruang tamu, George memperhatikan kereta kuda beroda empat itu pergi menjauh.

Sebelum benar-benar berpisah, Codrington sempat memandang­nya memohon untuk terakhir kali. Begitu mudah bagi George untuk jatuh dalam godaan itu dan memberinya pelukan terak­hir—atau ciuman terakhir—atau sejumput rambut hitamnya seba­gai kenang-kenangan yang dapat disimpan sang Earl dalam jam sakunya, tetapi George tidak mau dikenang sebagai kekasih yang tragis. Biarlah, biarlah ia menjadi kenangan pahit dalam diri Co­drington, sebagai seorang kejam yang tidak mau memberi hara­pan. Puisi yang pernah dibuat Codrington untuknya, bunga-bunga mawar burgundy yang diki­rimkan bersama dengan perasaan cinta, semua itu biarlah disimpan sendiri oleh George.

Menyadari pakaiannya yang be­lum pantas, ia kembali ke kamar dan berganti baju.

Dalam lemari berwarna hitam dengan dekorasi medal emas dan gambar bunga dalam vas, seluruh pakaian George yang tersimpan berwarna putih. Alabaster, putih telur, porselen dan warna salju yang turun. Mutiara. George Harcourt, mantan mutiara kebanggaan Sang Ratu.

Seharusnya artikel koran yang lalu itu dia potong dan bingkai di dinding! Betapa fana hari-hari itu, dan tidak pernah ada yang tahu seberapa terkoyak dirinya. Codrington, Simon Whiston, bahkan Arthur Harcourt, hanya pernah melihat sebagian dari di­rinya, entah itu seorang kekasih, anak yang patut dikasihani, atau adik yang tak tahu terimakasih. Bahkan hantu Emily pun tak tahu apa yang sebenarnya berlalu dalam pikirannya!

Selesai berganti pakaian, entah kenapa George merasa sangat muak melihat sosoknya yang serba putih. Dalam kenekatan yang hanya timbul sesaat, ia memanggil seorang pelayan lelaki dan menyuruhnya meminjamkan dasi hitam.

Breeding Ground [Victorian Omegaverse/NOW ENDING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang